Lihat ke Halaman Asli

Putu Shinta Aiswarya

Mahasiswa Ilmu Komunikasi

Fenomena Japanese Wave di Indonesia dalam Perspektif Teori Komunikasi

Diperbarui: 1 November 2021   06:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Jepang merupakan sebuah Negara di kawasan Asia yang sangat populer di mata dunia. Siapa sangka, Jepang yang kita pikir adalah Negara dengan orang-orang yang anti sosial, ternyata mereka memiliki segudang kreatifitas dan kualitas sumber daya manusia yang berkelas. Hal ini menjadi pemicu terjadinya penyerapan bentuk-bentuk kebudayaan (lintas budaya) terkhusus bagi warga Indonesia.

Komoditas ekspor menjadi produk andalan Jepang, seperti manga, anime, games, lifestyle, wisata, kuliner, dsb. Tak jarang pula ditemukan berbagai produk teknologi buatan Jepang yang beredar di pasar global, karena Jepang merupakan salah satu Negara maju yang selalu berinovasi setiap harinya. Seperti yang kita ketahui, berbagai bentuk kebudayaan ini lambat laun akan menggerus kebudayaan asli suatu bangsa.

Hal ini menjadi kewaspadaan utama bagi suatu Negara dalam meminimalisir terjadinya degradasi budaya. Budaya yang popular cenderung lebih cepat terbawa arus dan meresap ke semua orang yang bahkan dapat mengubah perilaku atau sikap setiap individu. Indonesia merupakan salah satu Negara yang masyarakatnya banyak menyukai budaya Jepang selain Korea Selatan. Hal ini diperkuat dengan munculnya kartun atau anime buatan Jepang di stasiun TV Indonesia dari tahun 1970an hingga sekarang.

Berdasarkan Teori Imprealisme Budaya, fenomena seperti ini menjadi kunci merosotnya kebudayaan asli sebuah bangsa. Seiring berjalannya tren budaya popular Jepang, masyarakat Indonesia mulai mempelajari bahasa mereka hingga bergaya seperti orang Jepang. Terlebih lagi orang-orang yang fanatic terhadap Jepang, pastinya mereka akan marah jika diingatkan oleh kebudayaan Indonesia yang tidak boleh mereka lupakan.  

Eksistensi budaya Jepang hingga saat ini makin melonjak naik dan mulai menghapus citra budaya Indonesia dengan dibuktikan oleh adanya pencinta atau penikmat anime yang selalu berbicara bahasa Jepang. 

Mereka rela menghabiskan uang mereka untuk kursus bahasa Jepang dibandingkan mempelajari dan mengingat kebudayaan sendiri. Negara maju dan superpower seperti Jepang tentu menjaga strategi agar tetap terjaga eksistensinya yakni menggunakan konsep diplomasi public. Permasalahan ini menimbulkan berbagai spekulasi terkait hilangnya budaya bangsa. Contoh kecilnya lagi, saat ini banyak masyarakat yang mulai makan menggunakan sumpit dan berlagak seperti orang Jepang.

Imprealisme Budaya sebagai kajian utama dengan menggunakan Japanese Wave sebagai objek kajiannya adalah "PR" bagi kita semua. Bagaimana tidak? Hal ini sangat berbahaya apalagi arus globalisasi semakin meningkat dan pemerintah pula tidak memikirkan inovasi berkala untuk memajukan budaya Indonesia agar menarik minat masyarakat akan kekayaan budaya kita. Jika kita tidak segera menanganinya, akan berimbas pada hal-hal lainnya yang lebih riskan.

Kefanatikan ini dapat kita kaji pula pada Teori Sistem Ketergantungan Media, dimana masyarakat fanatic terhadap budaya Jepang membuat mereka bisa saja kecanduan terhadap media. Media sebagai sarana untuk mencari informasi dan hal yang mereka sukai terkait Jepang, bisa menjadi boomerang pada diri mereka sendiri. Dampak yang dihadapi pun beragam, mulai dari dampak ekonomi hingga psikologi.

Dampak ekonomi dari ketergantungan media ini membuat mereka cenderung terus menggunakan internet dalam bermedia sosial, harus mengganti gadget mereka agar tidak ketinggalan zaman dalam menggait informasi (karena teknologi harus canggih setiap saat), dll. Tentu hal ini memerlukan banyak biaya yang membuat para fanatic Jepang kesulitan menjaga finansialnya.

Ada pula dampak lainnya seperti dampak sosial. Mereka cenderung menghabiskan waktunya untuk mencari seputar Jepang yang membuatnya tidak dapat bersosial atau berinteraksi dengan baik. 

Secara eksplisit, hal ini memicu terjadinya control sosial yang kurang baik bagi mereka, karena akan menjauhkan mereka dari masyarakat yang notabenenya sebagai penanda bahwa mereka adalah makhluk sosial. Sehingga, berdampak pula pada psikologinya yang membuat mereka akan cemas berlebih bahkan memicu stress akibat kurangnya pergaulan yang sehat.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline