Lihat ke Halaman Asli

Putu Raditya

Pekerja Lepas

Cerita-Cerita di Lini Bogor

Diperbarui: 1 September 2023   10:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“Hati-hati pintu akan ditutup.”

Kereta kami bertolak dari stasiun Bogor pada jadwal biasanya. Dalam akhir pekan yang biasa, saat itu saya sedang mengarah ke Sea World, Ancol, untuk berlibur dengan keluarga. Entah kapan terakhir kali ke sana, seingat saya sih mungkin 20 tahun lalu.

Bersama ibu dan seorang adik perempuan, tentu saja perjalanan kami awali dengan menggunakan KAI Commuter. Sudah sejak masa kuliah saya menjadi Anak Kereta, atau yang biasa dikenal dengan sebutan “Anker”. Bagi ibu dan adik saya yang jarang sekali naik kereta, perjalanan ini tentunya menjadi waktu liburan yang berkesan.

Beruntung, pagi itu pun kereta tak tampak begitu ramai. Sehingga kami bertiga dapat duduk dengan nyaman, sembari saya mengingat-ingat cerita-cerita yang terbentang di antara peron sejak kali pertama naik kereta.

“Sesaat lagi kereta Anda akan tiba di Stasiun Pondok Cina …”

Ah iya, bagaimana mungkin bisa saya lupakan perjalanan pertama itu. Dingin masih menyelimuti subuh di Stasiun Bogor, ketika antrian sudah tampak di loket THB. Tak sedikit ternyata yang berangkat kuliah dengan kereta dan turun di stasiun yang sama.

Saya tak punya kendaraan pribadi. Jadi saya pikir, hanya KAI Commuter lah satu-satunya yang bisa membantu saya mencapai tujuan dengan cepat dan tepat waktu.

Saya mendengarkan dengan seksama tujuan tiap kereta, tanpa ragu bertanya apakah masing-masing dari mereka melewati Stasiun Pondok Cina. Petugas-petugasnya selalu siap membantu. Melayani dan menjawab pertanyaan para penumpang dengan sabar.

Kalau boleh saya hitung, saya berani katakan bahwa 95% perjalanan saya semasa kuliah telah dilayani KAI Commuter dengan baik. Sisanya, permasalahan-permasalahan teknis kecil yang dengan sigap diatasi - bahkan bandara-bandara terbaik pun pernah mengalami delay penerbangan.

Tak terasa hari-hari itu berlalu dengan cepat. Kuliah saya berakhir tiga tahun kemudian. Commuter Line tetap menjadi andalan saya sejak semula. Ia telah menemani saya menimba ilmu, lalu mengejar rupiah, hingga menjelajah indahnya ibukota seperti hari ini.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline