Lihat ke Halaman Asli

Putu Paramahamsa

Seorang mahasiswa

Bandung yang Sunyi karena Privatisasi Air

Diperbarui: 3 Januari 2023   22:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bandung. Sumber ilustrasi: via KOMPAS.com/Rio Kuswandi

“Dan Bandung bagiku bukan cuma masalah geografis, lebih jauh dari itu melibatkan perasaan yang bersamaku ketika sunyi.” Kalimat tersebut pasti pernah dilewati oleh seseorang yang pernah hidup di Kota Kembang. Tentang Kota Bandung yang bukan hanya perkara geografis belaka, namun menyangkut perasaan ketika sunyi.

Di tengah gemerlapnya jalan Braga, Dago, hingga Asia Afrika, Bandung memang menyimpan berbagai keindahan kotanya. Wajah-wajah yang melintas di Dago atau Braga adalah wajah-wajah bahagia yang penuh dengan senyuman sumringah. Bandung memang pantas dikenang. Terlebih selepas hujan, Bandung adalah kota yang sangat tepat untuk dirindukan.

Akan tetapi, pertanyaan muncul di benak saya, tentang mengapa ada kalimat “melibatkan perasaan yang bersamaku ketika sunyi” di tembok alun-alun Kota Bandung, di Jalan Asia Afrika. Pernahkah kota ini mengalami kesunyian panjang atau jangan-jangan Bandung memang sedang mengalami kesunyian yang mereka sembunyikan lewat gemerlap diskotik Braga?

Bandung yang Sunyi?

Bandung tidaklah sunyi. Bahkan, jumlah penduduk Kota Bandung mencapai angka 2.4 juta jiwa, yang mana 1.2 juta jiwa di antaranya adalah laki-laki dan 1.2 juta lainnya adalah perempuan (BPS Kota Bandung, 2020). Sementara pada 2019, jumlah warga Kota Bandung juga menyentuh angka yang sama, yakni 2.4 juta jiwa. Bandung tidaklah dapat dikatakan sunyi.

Akan tetapi, ada ironi yang mesti diakui oleh masyarakat Bandung, yaitu akses terhadap air bersih. Dalam rangka menyediakan air bersih bagi warganya, Bandung sedikit berbeda dengan Jakarta. Jika Jakarta menyerahkan pemenuhan kebutuhan air bersih kepada pihak swasta, yakni PT PAM Lyonnaise Jaya (Palyja) dan PT Aetra Air Jakarta, Bandung justru masih menggunakan PDAM Kota Bandung untuk menyediakan kebutuhan air bersih masyarakatnya (Kafila, 2022).

Sayangnya, PDAM Tirtawening-pun belum mampu sepenuhnya memberikan kebutuhan air bersih kepada masyarakat Bandung. Dilansir dari BPS Kota Bandung, pada tahun 2019, PDAM Tirtawening hanya dapat mengaliri air warga Kota Bandung sebanyak 39 juta meter kubik. Sementara, kebutuhan air bersih masyarakat Bandung mencapai angka 108 juta meter kubik.

Dengan kata lain, pemerintah Kota Bandung yang direpresentasikan oleh PDAM Tirtawening, hanya dapat mengakomodir 35 persen kebutuhan air masyarakat Bandung, sementara 65 persen lainnya harus membayar tenaga atau uang lebih untuk dapat mengakses air bersih. Hal ini sebenarnya bertolak belakang dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 yang berbunyi bahwa negara menjamin hak setiap orang untuk mendapatkan air sebagai kebutuhan pokok minimal.

Jika di daerah lain privatisasi air didorong oleh pemerintah, maka di Bandung privatisasi air mewujud dengan sendirinya sebagai respons atas kebutuhan air bersih. Dalam Wijanto Hadipuro (2007) menjelaskan bahwa privatisasi air yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan swasta justru tidak membantu penyelesaian masalah dari kebutuhan air bersih masyarakat. Dalam laporan ilmiah tersebut, Wijanto menjelaskan bahwa privatisasi dan komersialisasi air bersih oleh pihak swasta, salah satunya merugikan kelompok masyarakat miskin.

Dalam buku yang berjudul Water Wars: Privatisasi, Profit, dan Polusi karya Vandana Shiva, dijelaskan bahwa ada konflik kuasa atas air. Menurut Vandana Shiva dalam buku tersebut, perang air dimaknai sebagai dua hal: perang paradigma dan perang fisik. Sebagai perang paradigma, perang air adalah suatu hal yang menimbulkan kekacauan antar dua kutub: komunal vs. pasar, konservasi vs. eksploitasi. Sementara, dalam perang fisik, perang air menjelma kekerasan fisik yang kerap terjadi antar dua kutub tersebut dalam mempertahankan kepentingan mereka.

Penelitian yang dijalankan oleh Asian Development Bank menjelaskan bahwa kelompok miskin di Delhi, harus membayar 489 kali lebih banyak untuk dapat memiliki koneksi pipa (Hadipuro, 2007). Asian Development Bank mengakui bahwasannya sektor privat memang tidak dapat membantu pemecahan masalah pelayanan pada daerah miskin, jika pun bisa, prestasinya tidak akan lebih baik dari sektor publik. Wajar saja, motif logika industri oleh pihak privat tidak akan membuat mereka memperluas jangkauan air ke akses daerah miskin, karena itu akan mengurangi keuntungan mereka.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline