Sejak diberlakukannya Peraturan OJK ("POJK") tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan tgl 6 Agustus 2014, awalnya saya cukup yakin bahwa seluruh pelaku usaha jasa keuangan ("PUJK") bisa mematuhi setiap pasal di dalamnya. Dalam POJK tersebut, ada pasal 19 yang mengatur hal-hal yang berkaitan dengan kegiatan promosi/penawaran bahwa PUJK dilarang menggunakan sarana komunikasi pribadi, sebagai berikut:
"Pelaku Usaha Jasa Keuangan dilarang melakukan penawaran produk dan/atau layanan kepada Konsumen dan/atau masyarakat melalui sarana komunikasi pribadi tanpa persetujuan Konsumen"
Namun kenyataannya, dua telepon dari telemarketer yang mengatasnamakan bank ******* menggugurkan asumsi tersebut. Sekalipun ada argumen pihak bank yang bisa membuktikan persetujuan konsumen, bagi saya nomor HP sudah terlanjur identik dengan nomor perorangan, bukan korporasi.
Kemarin (20/08/2014), ada panggilan masuk dari nomor HP yang tidak saya kenal. Tanpa berprasangka buruk, saya angkat dan langsung menyadari bahwa saya ditelpon oleh telemarketer (gaya bicara khas sesuai template). Karena banyak pekerjaan, saya katakan sibuk pada telemarketer tersebut. Ia memaklumi dan memutus pembicaraan setelah menghabiskan durasi kurang lebih 19 detik.
[caption id="attachment_354311" align="alignnone" width="320" caption="No HP Telemarketer, Sumber : Dok. Pribadi"][/caption]
Hal yang mengherankan justru terjadi lagi setelah siang hari. Ada panggilan dari nomor HP lain yang ternyata masih dari bank yang sama, namun dengan telemarketer berbeda dari sebelumnya.
[caption id="attachment_354309" align="alignnone" width="320" caption="No HP Telemarketer, Sumber : Dok. Pribadi"]
[/caption]
Sebagai salah satu strategi pemasaran, telemarketing sebetulnya bisa cukup efektif. Perusahaan dapat menghemat biaya iklan di media massa (above the line) karena pesan disampaikan langsung oleh si petugas dari jarak jauh. Namun demikian, beberapa konsumen seringkali mengeluhkan timing dan gangguan privacy yang sedikit bertentangan dengan konsep pelanggan/konsumen adalah raja. Benarkah 'raja' perlu ditelpon sampai dua kali sehari?
Dalam hal ini, dapat dipahami bahwa pertumbuhan ekonomi global tahun 2013 yang hanya mencapai 3% telah memacu negara berkembang untuk lebih inovatif dalam memasarkan produk keuangan. Jika dikembalikan kepada arus dan kondisi persaingan yang ketat, langkah telemarketing ini bisa dikatakan positif. Fakta bahwa 40% market dikuasai bank-bank BUMN mengakibatkan beberapa bank swasta untuk memilih strategi ini.
Di sisi lain, bank swasta yang telah menjadi perusahaan publik ternyata belum sepenuhnya patuh terhadap peraturan OJK. Meski POJK disosialisasikan selama setahun, penggunaan nomor HP untuk telemarketing masih saja terjadi. Meskipun demikian, menyalahkan atau memarahi telemarketer bukanlah solusi yang baik. Bagi konsumen yang merasa terganggu bisa mengadukan ke regulator terkait seperti OJK.
Telemarketer hanya menjalankan jobdesc-nya untuk mencapai target yang ditentukan perusahaan. Pekerjaan mereka harus dihargai meskipun menimbulkan polusi suara bagi konsumen selaku penerima telepon. Karena bagaimanapun, mereka adalah bagian dari warga negara yang berusaha untuk memperoleh kehidupan yang lebih layak.
Pada akhirnya, telemarketing merupakan salah satu penggerak roda bisnis bagi pelaku usaha jasa keuangan, khususnya bank. Sebagai konsumen yang baik, kita harus jeli dalam menghadapi promosi telemarketing. Pilih produk keuangan yang sesuai dengan kebutuhan dan profil risiko. Jika tidak atau belum berminat pada apa yang dipromosikan, jangan ragu untuk menolak dengan cara yang santun & bersahabat.
Salam Kompasiana.
Catatan : nama bank sengaja dibuat dengan simbol asterix karena belum tentu valid kebenarannya
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H