Lihat ke Halaman Asli

Sebuah Metropolitan Tanpa Perpustakaan yang Setara

Diperbarui: 24 Juni 2015   17:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Gubernur dan Pemerintah DKI Jakarta bergeming. Bekas Wali Kota Jakarta Selatan tetap dilantik sebagai Kepala Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah (BPAD). Protes maupun imbauan agar menempatkan figur yang lebih tepat, tak ada yang mempan. Akankah Jakarta memiliki perpustakaan umum (public library) yang sesuai untuk statusnya sebagai metropolitan?


Dapat kita duga, BPAD akan berprinsip business as usual, setelah akhirnya kini punya Kepala baru. Isu sudah reda dan kritik sudah (di)padam(kan); baik pemerintah maupun masyarakat tampaknya akan segera lupa tentang kasus ini. Harus segera diakui, layanan perpustakaan dan kearsipan tak terlalu masuk hitungan dibandingkan, misalnya layanan kesehatan atau administrasi kependudukan. Iseng-iseng, tanyalah 10 tetangga Anda. Kalau ada 1 orang saja yang menyatakan tahu dan peduli tentang layanan Perpustakaan Umum, Anda sudah beruntung!

Memang membuat miris. Baik pihak pemerintah sebagai penyelenggara layanan maupun pihak masyarakat sebagai pengguna, bersikap skepstis. Pihak pemerintah akan mengatakan bahwa masyarakat tak berminat; sementara pihak masyarakat balik mengatakan bahwa layanan publik ini tak menarik dan  —terlebih lagi— tak berguna untuk kehidupan sehari-hari. Pejabat pemerintah sering mengumandangkan praduga tentang "minat baca" yang rendah, sementara masyarakat juga hanya angkat-bahu jika diajak bicara tentang manfaat perpustakaan.

Namun tentunya itu semua bukan alasan bagi Pemerintah untuk tidak menyelenggarkan perpustakaan untuk umum yang memadai.

Perpustakaan umum sebagai hak masyarakat


Badan dunia seperti UNESCO sebenarnya sudah mengeluarkan manifesto universal (lihat http://bit.ly/3sjBZ2) tentang hak masyarakat untuk mendapatkan layanan perpustakaan, walau mungkin hanya lapisan atas dari kelas menengah dan segelintir akademisi yang tahu tentang kewajiban Pemerintah ini. Hanya jika ada "kejadian luar biasa" yang menyangkut institusi inilah, baru orang-orang akan sadar akan ketidakhadiran perpustakaan di lingkungan mereka. Misalnya, masih ingat kasus Koin Sastra? Setelah beberapa pemerhati dan pegiat media sosial mengangkatnya, barulah masyarakat tersadarkan bahwa Pemerintah DKI luput mengurus salah satu perpustakaan umum mereka.

Bercermin ke isu Koin Sastra juga dapat menyadarkan kita bahwa Pemerintah tetap belum berupaya maksimal. Setelah isu reda, aneka perpustakaan dan pusat arsip tetap tak terlalu terurus dan tetap minim pengunjung. Berita terakhir tentang Jokowi yang blusukan ke Perpustakaan Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin itu (lihat http://bit.ly/ZT3Mxt ) membuktikan bahwa Pemerintah ternyata belum memenuhi janji yang disampaikan gubernur terdahulu sewaktu menjawab desakan masyarakat.

Bukan berarti BPAD tak melakukan apa-apa. Sekali lagi, jika melihat anggaran yang tersedia untuk badan ini di DKI Jakarta sebanyak Rp 98 milyar (lihat http://bit.ly/13sVRZ8) jelas ada banyak hal yang dapat dan bahkan mungkin sudah dilakukan BPAD. Namun belum pernah ada upaya mengukur atau melakukan benchmarking tentang layanan Perpustakaan Umum atau Pusat Arsip di Indonesia. Kalau Pemerintah sungguh-sungguh, aneka alat ukur sudah tersedia; baik yang bersifat universal (dari UNESCO, lihat http://bit.ly/Y3xysJ), atau  yang berlaku di berbagai negara untuk diadopsi setelah dimodifikasi. Sudah banyak pula alat ukur dan strategi manajemen perpustakaan yang berkait dengan administrasi publik pada umumnya, dan tata-kelola pemerintahan yang baik (good governance) pada khususnya.

Secara awam saja dapat dilihat bahwa perpustakaan-perpustakaan yang diselenggarakan Pemerintah DKI belum memadai. Apalagi kalau diukur secara cermat dan ilmiah, pastilah hasilnya akan menunjukkan betapa layanan-layanan publik itu sangat kedodoran.

Perpustakaan yang dikelola secara profesional


Dari bukti-bukti sepintas saja kita seharusnya sadar bahwa penyelenggaraan layanan perpustakaan umum bukanlah kegiatan sederhana. Terlebih-lebih untuk sebuah kota sekelas Jakarta, dengan keragaman masyarakat dalam tingkat pendidikan, penghasilan, maupun latarbelakang sosial-budaya. Bukan sekadar membangun fisik gedung dan menyediakan  teknologi mutakhir, tetapi juga menampilkan suasana nyaman, terbuka, dan ramah (welcoming).

Perpustakaan umum memiliki karakter unik dibandingkan perpustakaan jenis lainnya. Perpustakaan perguruan tinggi, misalnya, jauh lebih sederhana dalam hal keragaman layanan mengingat masyarakat penggunanya bersifat homogen dengan satu tujuan yang jelas sebagai sebuah masyarakat ilmiah yang padu (koheren). Perpustakaan khusus (special library atau information bureau) jauh lebih sempit lagi fokusnya. Perpustakaan sekolah jauh lebih kecil dalam hal lingkup pengguna.

Perpustakaan umum adalah sebuah ruang publik dan nyaris pasti adalah sebuah institusi multi-kultural. Semakin besar sebuah kota, semakin kompleks kehidupan masyarakatnya, semakin istimewalah seharusnya perpustakaan umum di kota yang bersangkutan. Ini akan tercermin bukan hanya dalam bentuk gedung yang besar dan megah, tetapi terlebih-lebih dalam bentuk layanan yang disediakan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline