Lihat ke Halaman Asli

Renungan Pojok Cafe

Diperbarui: 24 Juni 2015   11:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Sudahkah hidup saya berguna bagi hidup orang lain?


Kira-kira begitulah sepenggal kata-kata yang ‘menghantui’ saya belakangan ini. Di usia yang sudah tidak dapat dikategorikan muda lagi, saya merasa belum pernah melakukan sesuatu yang dapat memberikan manfaat serta syafaat bagi orang lain.

Pernah ada seorang sahabat yang mengatakan kepada saya:

Kesuksesan seseorang itu bukanlah terletak dari berapa besarnya jumlah nominal yang tertera di dalam buku tabungan, melainkan dari berapa besarnya pengaruh positif yang dapat kita berikan kepada orang lain. Seberapa besar?


Besarnya pengaruh positif tersebut hanya orang lain yang akan menilai.

Sejujurnya, pikiran saya ini tergerak saat saya sedang menyaksikan tayangan salah satu televisi swasta beberapa hari lalu, tentang seorang lelaki muda di daerah Tasikmalaya, Jawa Barat, yang mengelola yayasan bagi penyembuhan orang dengan ganguan kejiwaan.

Yayasan tersebut memiliki nama cukup unik; Keris Nangtung. Atau Keris ‘Berdiri’. Entah apa makna di balik penamaan yayasan tersebut. Yang jelas, yayasan tersebut berhasil mengumpulkan dan menyembuhkan ratusan penyandang cacat mental, dan mengembalikan kepada keluarganya.

Saya membayangkan perasaan haru campur bahagia yang meliputi keluarga yang telah kehilangan salah satu anggotanya, dan kini kembali dalam keadaan sehat. Luar biasa!

Keris Nangtung adalah salah satu dari sekian banyak lembaga/yayasan sosial yang telah berhasil membantu masyarakat Indonesia. Tidak hanya mereka, saya juga kerap menemui banyaknya penelitian-penelitian sains yang juga sama mulianya, membantu sebagian besar msyarakat Indonesia.

—-

Kebaikan memang tidak selalu harus dirasakan oleh orang banyak. Kebaikan-kebaikan ‘kecil’ juga dapat berdampak bagi sebagian orang. Masih belum lekang dari ingatan kita, saat salah satu mubaligh Indonesia, Ustad Jefri Al-Buchary meninggal dunia, betapa banyak masyarakat yang menghantarkan ke tempat peristirahatan terakhirnya.

Peristiwa pemakaman ustad ‘gaul’ tersebut seolah membenarkan hukum timbal balik yang menyebutkan; tanam kebaikan maka akan pula ‘berbuah’ kebaikan.


Walaupun tidak semua kebaikan akan berdampak langsung kepada kita, namun ‘doa’ terima kasih dari sang penerima kebaikan tentunya akan selamanya menyertai langkah kita, bukan?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline