Seperti yang kita ketahui Kekerasan dan eksploitasi anak bisa terjadi di mana saja termasuk di tempat wisata. Hal ini juga mendapat perhatian kita mengingat negara ini memiliki keragaman adat, budaya, tradisi, hingga keindahan alam memiliki daya tarik wisata yang tinggi. Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Bintang Puspayoga mengingatkan, meski beragam manfaat datang dari pariwisata, di balik itu ada upaya perlindungan anak yang harus dikencangkan. Di tengah dampak positif dari sektor pariwisata ada beberapa dampak negatif yang perlu kita waspadai, salah satunya kerentanan anak untuk mendapatkan kekerasan maupun eksploitasi. Mengingat anak-anak rentan mendapat perlakukan salah di tempat wisata, Kemen PPPA melakukan berbagai upaya untuk merespons hal tersebut.
"Upaya yang kami lakukan dimulai dari akar rumput, salah satunya dengan menginisiasi penyusunan Panduan Wisata Pedesaan Ramah Anak Bebas Eksploitasi pada tahun 2019," katanya. Pihak Bintang bekerja sama dengan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, Transmigrasi, dan Kementerian Dalam Negeri juga telah menginisiasi Desa/Kelurahan Ramah Perempuan dan Peduli Anak (DRPPA). Bintang berharap, hadirnya model DRPPA ini dapat menjadi contoh pembangunan yang berbasis pemenuhan hak perempuan dan anak secara nyata dan terintegrasi di tingkat akar rumput. "Pada tahun ini, Undang-Undang (UU) Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual juga telah disahkan. Pada korban anak, UU ini mengisi kekosongan hukum yang ada dan menjadi pelengkap Undang-Undang tentang Perlindungan Anak," jelasnya. Ia kembali mengingatkan bahwa memberikan perlindungan yang optimal bagi anak-anak di manapun mereka berada adalah tugas bersama.
Kasus ini tentu meninggalkan dampak psikologis dan sosial pada anak, pada kasus ini juga anak dapat terganggu perkembangan mental dan emosional. Anak yang menjadi korban kekerasan dan eksploitasi dapat mengalami trauma yang cukup lama, anak juga akan mengalami kesulitan berinteraksi dengan orang lain kerna adanya dampak psikologi dan sosial. Dampak yang terjadi di kasus ini terdapat pada teori perkembangan psikologi dan sosial anak yang di kembangkan oleh Erik Erikson di mana pada kasus ini terjadi pada tahap "Kepercayaan vs ketidakpercayaan (0-1 tahun)". Kekerasan dan ekploitasi pada anak, membuatnya merasa tidak aman berada di tempat wisata dan menyebabkan merusak rasa percaya terhadap orang-orang sekitar.
Oleh karena itu penting bagi orang tua mengawasi anaknya ketika berada di tempat wisata karena tempat wisata juga tempat dimana orang-orang asing sedang berlibur, dengan cara orang tua mengawasi anaknya anak akan merasa aman dan nyaman di tempat wisata tanpa ada gangguan dari oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Bintang menambahkan, dibutuhkan sinergi lintas sektor dan pemangku kepentingan. Baik pemerintah pusat hingga desa, akademisi dan profesional, media massa, dunia usaha hingga masyarakat. Kolaborasi dan sinergi juga ditekankan oleh Ketua Umum Lembaga Perlindungan Anak Pusat, Arist Merdeka Sirait. Menurutnya, ada banyak persoalan anak di Sumatera Utara yang memerlukan komitmen bersama baik dalam penegakan hukum maupun perlindungan. "Banyak anak yang hidup dalam situasi buruk. Masih bisa kita lihat bahwa anak terpaksa bekerja di jalanan, dan ada juga anak-anak berada di tempat hiburan yang dieksploitasi oleh kepentingan-kepentingan orang sekitar anak". "Kalau ini dibiarkan maka hancurlah masa depan anak-anak kita. Maka dibutuhkan komitmen bersama memutus mata rantai kekerasan terhadap anak," tegas Arist.
Kesimpulan dari teks diatas adalah bahwa kekerasan dan ekploitasi anak di tempat wisata merupakan masalah serius yang mendapat perhatian pemerintah, khusunya Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA). Mentri bintang puspayoga menekankan pentingnya perlindungan anak di sektor pariwisata mengingat ancaman anak terhadap kekerasan dan eksploitasi. Upaya perlindungan meliputi penyusunan panduan wisata dan inisiatif Desa/Kelurahan Ramah Anak. Dampak negatif dari eksploitasi dapat menggangu perkembangan mental dan emosional anak, terutama pada tahap "kepercayaan vs ketidakpercayaan" dalam teori Erik Erikson, di mana kekerasan merusak rasa aman anak. Kolaborasi lintas sektor diperlukan untuk memutus mata rantai kekerasan terhadap anak dan memastikan masa depan yang lebih baik bagi mereka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H