Lihat ke Halaman Asli

PUTRIYANA ASMARANI

Bookstagrammer

Bagaimana Jepang Melindungi Sinyo

Diperbarui: 22 Juni 2024   20:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: Pixabay

       

    Belum genap satu minggu sejak Jeroen tak lagi mendengar kabar bapaknya Jan Boudewijn setelah keduanya terpisah di Buitenzorg, ia menggandrungi tontonan gratis bersama Tante Alice di sebuah serambi penginapan dua tingkat Batavia dirindangi kenari berlatar kicau nuri. Di bawah sana, di ruas jalan kota terbuka, dua hari setelah Belanda menyerah, satu peleton tentara Jepang berbaris khidmat. Dua tentara KNIL yang bertugas menjaga rumah Belanda tak jauh dari sana, menyusul lari terbirit-birit menyetorkan muka pada seorang kelasi Jepang. Keduanya melayangkan bungkuk homat dan sebelum mengucap salam, kepala mereka meleduk tepat mengiringi letus senapan.

            “Kau lihat sendiri kan,” Tante Alice menyeruput seduhan teh melati produksi lumbung perkebunan Priangan yang katanya bisa bikin tenang tapi ia memicingkan mata, siaga pada segala, “Asia for the Asians.”

            Beberapa hari ke depan, tontonan pagi hingga sore menjelang bersama Tante Alice akan menjadi kebiasaan. Tentara Jepang mulai mengisi jalan-jalan padat dan lenggang, berlipat ganda, menganak semang. Tetangga sesama Belanda mulai hengkang mencari pengungsian, sedangkan yang memilih tinggal menyerahkan seluruh kehidupan mereka pada sebuah kabar. Rumah-rumah kosong ditelanjangi perampok ketika bulan mengangkang, dan alih wahana kepentingan di siang bolong ketika matahari menusuk atap-atap kusam; ada yang dipakai untuk pemberkasan, menyusun strategi pengusiran, hingga ‘rumah jagal dan penyanderaan’.

            Jeroen masih bersandang Sinyo, baik sejak jagadnya memayu maupun perlahan merupa medan Kurukshetra. Ia masih seorang sinyo dan ia cukup sadar bahwa ia bukan lagi totok sembilan tahun yang baru diizinkan bertelanjang kaki ketika hujan membasahi Surabaya. Ia tak lagi bangun pagi karena sengatan aroma gula jawa yang masak di atas tungku atau pingsan setelah babunya mengorak sayap laron untuk camilan. Ia tak lagi bebas berkelana mengitari sudut-sudut pasar yang penuh dengan timbunan sisa tinja dari usus yang baru saja dibedah dan dibersihkan, sengak bulu-bulu ayam, dan kulit sapi yang dibentangkan.

            Ia tak lagi menemukan bocah-bocah ingusan yang khusyuk menontonnya bermain ditemani seorang jongos dari balik pagar. Ia tak bisa melupakan ocehan bocah-bocah tengik itu; “Matanya biru sekali, rambutnya bersinar kuning seperti jembut jagung muda, kalau kita yang bermata hitam dan berambut hitam mengeluarkan kotoran berwarna kuning, kira-kira ia kalau berak warnanya seperti apa?” Ini membikin Jeroen menggigil, tapi setidaknya sejak itu ia tahu bahwa baik ia maupun jongosnya mengeluarkan warna berak yang sama.

            “Tante, kenapa kita malah ongkang-ongkang saat orang lain sudah hengkang merasa terancam?” Jeroen lupa tehnya telah lama terhidang, matanya membidik latihan prajurit di bawah sana, dua orang Jepang bergulat, bertelanjang dada, dan berlumuran minyak, diiringi puluhan penyorak.

            Tante Alice sudah mengutus salah satu babu untuk menuangkan teh ke gelasnya. Sebelum ia menjawab pertanyaan Jeroen, ia menggeleng sambil berkomentar, “Manusia barbar itu!” tanpa mengalihkan pandang barang sejengkal pada laga dua manusia. “Kamu harus ingat, apapun situasinya, tidak akan ada yang berani menyentuh keluarga Jan Boudewijn.”

            Sore itu tontonan berlangsung lebih lama, Tante Alice enggan beranjak dan Jeroen menekuri bagian tubuh yang gampang diserang dan paling babak belur. Tante Alice mungkin betah karena ia tak sanggup melewatkan pemandangan dada yang diminyaki sampai ia ogah membaca surat yang diantar ke serambi dan menyuruh Jeroen saja yang membacakan surat itu untuknya.

            “Jepang menawarkan perlindungan, begitu katanya?” Tante Alice sontak menanggapi dan ia menyahut surat dari tangan Jeroen. “Perlindungan macam apa, kita sudah aman di serambi ini.” Tante Alice memanggil Tegar, orang suruhannya yang juga merangkap sebagai sopir. “Siapa saja yang dapat surat ini? Kamu tahu?”

            “Pengirim menyampaikan, surat ini membawa kabar baik untuk Nyonya, juga untuk seluruh keluarga Belanda lainnya yang tersisa di Batavia.”

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline