Sore itu saat adzan magrib sudah berkumandang indah di rumah-Nya, aku mengambil sebungkus roti tawar dari dalam lemari makanan. Aku di rumah sendiri, orang tuaku berangkat kerja dan pulang pukul delapan malam. Aku terbiasa dengan semuanya, menyiapkan makan sendiri atau bahkan berbuka sendiri dengan ditemani film kesukaanku yang kuputar di laptop putihku.
Setelah melakukan sholat magrib, aku duduk di kasur dan mulai menyalakan film kesukaanku dengan memasang earphone di telingaku. Kubuka sebungkus roti tawar yang sudah kuambil tadi. Ada juga segelas es teh yang kubuat sebelum melakukan sholat.
Aku mulai memainkan film itu. Kalian harus tahu, jika saat itu keadaan kampungku sedang hujan deras. Angin yang berhembus lewat celah jendela kamarku bisa aku rasakan kedinginannya. Pada lima menit pertama film itu aku belum memakan roti tawar yang sudah kusiapkan di samping laptopku. Hingga pada menit kedua belas aku merasa lapar, aku pun membuka dan mengambil sehelai roti tawar untuk kumakan. Aku akan makan nasi ketika kedua orang tuaku sudah pulang. Mereka pasti membawakanku makanan dengan lauk-pauk yang lengkap.
Satu gigitan sudah masuk ke dalam mulutku. Tapi tiba-tiba ketika roti tawar di tanganku itu berada tepat di depan wajahku, aku terdiam bisu. Mungkin karena beberapa waktu lalu aku pernah membaca sebuah artikel yang mengatakan jika kita diperintah puasa itu untuk turut merasakan kaum dhuafa di luar sana yang kelaparan sepanjang hari, sebuah pikiran seperti itu pun terlintas di dalam benakku.
Aku mulai memikirkan mereka. Aku mulai bertanya-tanya sendiri di dalam hati sambil menatap selembar roti tawar di tanganku.
Bagaimana mereka? Apakah mereka sudah berbuka? Atau mungkin, apakah mereka sudah sahur? Dari mana mereka mendapatkan makanan? Orang mana yang mau memberikan mereka sedikit makanan meski hanya sisa? Lalu bagaimana anak mereka? Apakah ia tidak merengek meminta makanan? Apakah ia tidak lapar?
Lalu kemudian air mataku menetes dengan sendirinya.
Aku hidup di kota yang tidak terlalu padat seperti kota-kota besar di Indonesia. Aku hidup di kota yang tidak pantas disebut 'kota', melainkan sebuah desa. Penduduk di tempat ini mungkin tidak terlalu banyak, tapi setiap kali aku menjalani hari aku selalu bertemu dengan wajah yang berbeda dan kehidupan warna yang berbeda pula. Tapi anehnya, aku tidak pernah merasa sesyukur ini sebelumnya.
Hatiku tersentuh hanya karena melihat selembar roti di tanganku. Mungkin jika mereka berada di dekatku, dengan kedua bola mata berbinar mereka akan meminta sehelai roti ini untuk mereka makan. Menengadahkan tangan lalu berkata, "Bolehkah aku meminta roti itu?" Hanya selembar roti yang mampu membuat mereka bisa sebahagia ini. Lalu aku? Jujur, untuk makan roti ini saja aku masih merasa kurang.
Oh, Ya Tuhan. Apakah ini caramu menyadarkanku? Sederhana sekali. Hanya karena sebuah roti tawar berharga enam ribu engkau membuatku menangis dalam doaku. Engkau membuatku teringat akan saudara-saudaraku di luar sana yang sedang bersusah payah mencari makan, mungkin dari sisa-sisa yang dibuang di tempat sampah.
Engkau ingin aku bagaimana Tuhan? Aku sudah menangis melihat mereka, bahkan untuk memikirkannya saja aku tak akan sanggup. Aku tak akan bisa mendengar rintihan anak kecil yang meminta makanan kepada ibunya, aku tak akan pernah bisa melihat seorang ibu terduduk diam di depan emperan toko memandang kami yang tengah asyik membeli bermacam-macam makanan untuk berbuka. Sungguh, aku tak akan pernah sanggup.