Lihat ke Halaman Asli

Pendidikan Aman FSGI Minta Pemerintah Baru Lanjutkan Inisiatif Pencegahan Kekerasan di Sekolah

Diperbarui: 31 Oktober 2024   15:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Tahun 2024 diprediksi akan menjadi tahun yang penuh tantangan bagi sistem pendidikan di Indonesia, terutama terkait dengan keamanan dan kesejahteraan siswa. Dalam laporan terbaru, Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) mengungkapkan keprihatinan mendalam atas meningkatnya kasus kekerasan di sekolah. Dengan 36 kasus kekerasan yang tercatat antara Januari dan September 2024, termasuk tujuh kematian, situasi ini menunjukkan peningkatan signifikan dibandingkan dengan data sebelumnya, yang mencatat hanya 15 kasus hingga Juli 2024. Data ini mencerminkan bahwa kekerasan di sekolah bukan hanya masalah individu, tetapi telah menjadi fenomena yang meresahkan di kalangan masyarakat.

Sekretaris Jenderal FSGI, Heru Purnomo, menyampaikan bahwa dari total 36 kasus yang dilaporkan, sebanyak 12 kasus terjadi hanya pada bulan September 2024. Jenis kekerasan yang dilaporkan mencakup enam kasus kekerasan seksual, lima kasus kekerasan fisik, dan satu kasus kekerasan psikis. Kasus-kasus ini melibatkan berbagai jenjang pendidikan, namun kebanyakan terjadi di tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs).

Dari 36 kasus tersebut, FSGI mencatat bahwa 66,66 persen terjadi di bawah kewenangan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), sementara 33,33 persen terjadi di bawah Kementerian Agama. Meskipun Kementerian Agama memiliki proporsi yang lebih kecil dalam jumlah kasus, dampak dari kekerasan fisik di lembaga mereka cukup serius, dengan empat siswa dilaporkan meninggal dunia akibat kekerasan. Angka ini menunjukkan bahwa setiap lembaga pendidikan, baik yang dikelola pemerintah maupun swasta, perlu lebih waspada dan bertanggung jawab dalam menjaga keselamatan siswa.

FSGI juga mengidentifikasi empat jenis kekerasan yang paling umum terjadi di sekolah. Pertama, kekerasan fisik mencakup 55,5% dari total kasus, menunjukkan bahwa siswa sering menjadi korban tindakan fisik. Bentuk kekerasan fisik ini dapat beragam, mulai dari pemukulan hingga penyiksaan yang dilakukan oleh teman sebaya maupun pihak yang memiliki otoritas di sekolah. Kekerasan fisik ini sering kali menyebabkan luka fisik dan dampak psikologis yang lebih dalam bagi para korban.

Kedua, kekerasan seksual, yang mencakup 36% dari kasus, menjadi perhatian serius karena dampaknya yang merusak secara fisik dan mental. Kasus kekerasan seksual di lingkungan pendidikan tidak hanya menyebabkan trauma jangka panjang, tetapi juga dapat memengaruhi kehadiran dan prestasi akademik siswa. Ini adalah isu yang sangat mendesak, mengingat pentingnya menciptakan lingkungan yang aman bagi siswa.

Ketiga, kekerasan psikis, yang mencakup 5,5%, tidak boleh diabaikan karena dapat berdampak pada kesehatan mental siswa dalam jangka panjang. Bentuk kekerasan psikis bisa berupa ejekan, intimidasi, atau perlakuan diskriminatif yang dapat mengganggu rasa percaya diri siswa. Terakhir, kebijakan yang mengandung kekerasan juga menjadi bagian dari masalah ini. Kebijakan yang tidak mendukung keselamatan dan kesejahteraan siswa, seperti hukuman fisik yang masih diterapkan di beberapa sekolah, juga perlu menjadi perhatian.

Dalam konteks pelaku kekerasan di satuan pendidikan, data menunjukkan bahwa sebagian besar adalah peserta didik itu sendiri. Sekitar 39% pelaku merupakan teman sebaya, sementara 8% adalah kakak senior. Kombinasi dari kedua kelompok ini menjadikan hampir 47% dari total pelaku kekerasan di sekolah. Ini menunjukkan bahwa kekerasan di sekolah tidak hanya melibatkan individu, tetapi juga menciptakan suasana ketidakamanan bagi siswa lainnya.

Selain itu, pelaku juga termasuk kepala sekolah, guru, dan pembina kegiatan ekstrakurikuler. Dari total 36 kasus, jumlah korban mencapai 144 peserta didik, yang menunjukkan bahwa kekerasan di sekolah tidak hanya berdampak pada individu yang terlibat langsung, tetapi juga menciptakan suasana ketidakamanan bagi siswa lainnya.

Kekerasan di satuan pendidikan tidak hanya merugikan korban secara fisik, tetapi juga memiliki dampak psikologis yang mendalam. Siswa yang mengalami kekerasan lebih rentan terhadap masalah kesehatan mental, seperti depresi, kecemasan, dan rendahnya kepercayaan diri. Lingkungan yang tidak aman dapat mengganggu proses pembelajaran, memengaruhi prestasi akademis siswa, dan menciptakan budaya ketakutan di sekolah. Ketidaknyamanan yang dialami siswa dapat mengakibatkan absensi tinggi, yang berpotensi menghambat perkembangan akademis mereka.

Data menunjukkan bahwa kasus kekerasan ini terjadi di 31 kabupaten/kota di 14 provinsi, yang menandakan bahwa masalah ini bersifat sistemik dan perlu penanganan yang serius dari pemerintah. Kejadian kekerasan yang luas ini menunjukkan bahwa tidak ada daerah yang benar-benar aman dari masalah ini, dan setiap sekolah dapat menjadi lokasi terjadinya kekerasan. Oleh karena itu, FSGI menegaskan bahwa tindakan segera dan efektif sangat diperlukan untuk menciptakan lingkungan pendidikan yang aman.

Kekerasan dalam pendidikan di Indonesia merupakan isu kompleks yang dipengaruhi oleh berbagai faktor. Salah satu penyebab utamanya adalah budaya kekerasan yang telah mengakar dalam masyarakat. Dalam banyak kasus, perilaku agresif dianggap sebagai cara yang sah untuk menyelesaikan konflik atau menunjukkan kekuasaan. Budaya ini sering kali tercermin dalam interaksi sehari-hari, baik di lingkungan rumah tangga maupun di sekolah. Ketika siswa tumbuh dalam lingkungan di mana kekerasan dianggap sebagai resolusi yang wajar, mereka cenderung meniru perilaku tersebut.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline