Jauh sebelum John Locke (seorang ahli ilmu Psikologi Perkembangan) berpendapat tentang “Tabula Rasa” yang menyatakan bahwa anak lahir diandaikan sebagai halaman kosong (kertas putih bersih), dimana digambarkan bahwa jiwa itu akan ditulisi dan dibentuk dari pendidikan yang ada disekitarnya. Ternyata, islam lebih dahulu menjelaskan akan hal tersebut melalui hadis nabi Muhammad yang berbunyi:
كلّ مولودٍ يولدُ على الفطرةِ فأبوَاهُ يُهَوّدانِه أوْ يُنَصّرانِه أوْ يُمَجِّسانِه كمثلِ البهيمةِ تُنْتَجُ البهيمةَ هلْ ترى فيها جَدْعاءَ.
Artinya: Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fithrah (suci), kemudian kedua orang tuanyalah yang akan menjadikan anak itu menjadi Yahudi, Nashrani, atau Majusi sebagaimana binatang ternak yang melahirkan binatang ternak dengan sempurna. Apakah kalian melihat cacat padanya?
Melihat dari hadis tersebut, tanpalah kita memperselisihkan agama mana yang lebih baik diantara yang telah tersebut diatas. Akan tetapi disini kita mengambil makna yang tersirat dalam hadis tersebut bahwa proses perkembangan individu sangat tergantung dengan lingkungan yang mempengaruhinya, pernyataan ini sama dengan pendapat ahli Psikologi bernama William Stern. Oleh karena keberadaan anak selalu berdampingan dengan orang tuanya maka dalam hal ini, setiap orang hususnya para orang tua harus benar-benar memahami akan proses perkembangan anak, pertumbuhan anak, dll. Dimana proses-proses tersebut terangkum juga di dalam ilmu Psikologi Perkembangan yang mengenalkan akan aspek-aspek perkembangan manusia, faktor yang mempengaruhi perkembangan, dan seterusnya sampai pada tahap manusia tidak lagi berkembang alias mati.
Sebagaimana kasus yang sering kali kita lihat tentang bagaimana hasil karakter anak yang dididik dengan cara yang kurang benar. Kali ini saya mengangkat sebuah kisah nyata dari teman karib saya sendiri, sebut saja dia dengan sebutan Ree. Ketika dia berumur 5 tahun, kedua orang tuanya berpisah dengan alasan yang kurang dia ketahui mengingat keadaannya yang masih kecil. Saat itu dia diasuh oleh ayah kandungnya bersama kedua saudaranya yang sama-sama lelaki. Dia bercerita bahwa selama itu, ayahnya selalu mendidik mereka dengan kekerasan, entah itu omongan yang kasar bahkan tak jarang dengan pukulan yang kasar. Sehingga dari sini sudah dipastikan adanya miss communication diantara orang tua dan anak, apalagi mereka juga tak pernah mendapatkan perhatian dan kasih sayang dari ibunya. Hasilnya, ketika dia mulai beranjak dewasa dia mengakui kalau dia punya hobi berantem dan ngebully orang lain, diapun mengakui bahwa dirinya merasa kurang percaya diri dalam melakukan sesuatu karena tidak pernah mendapatkan support dari orang tuanya.
Dari kisah tersebut, kita pastinya memahami bagaimana pentingnya peran orang tua dalam mendidik dan mengarahkan anak pada lingkungan yang baik agar terbentuk karakter yang baik pula.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H