Terlahir di keluarga pendidik membuat saya sangat akrab dengan isu-isu birokrasi pendidikan sekarang ini. Status Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang disandang oleh ayah dan ibu dapat dianggap "aman dan nyaman" bagi sebagian orang. Namun untuk menuju statu PNS itu di negeri ini bukanlah hal yang mudah. Bahkan banyak orang mengusahakan sedemikian rupa agar segera menyandang gelar PNS. Untuk pendidik, menjadi seorang PNS merupakan hal yang mudah-mudah susah. Moratorium penerimaan CPNS yang masih berlangsung untuk saat ini, membuat banyak guru honorer tumbuh subur dimana-mana.
Nah mengenai guru honorer ini, beberapa hari yang lalu, adik saya bercerita mengenai seorang guru yang statusnya masih honorer dan kebetulan saya mengenal beliau juga saat saya masih dalam masa praktek mengajar di sekolah adik saya, menyatakan mengundurkan diri dari statusnya sebagai guru honorer di sekolah tersebut. Usut punya usut, menurut adik saya, guru tersebut keluar dikarenakan gajinya selama tiga bulan belum dibayarkan pihak sekolah yang berstatus negeri tersebut.
Mendengar cerita adik saya, ibu saya yang berstatus sebagai PNS di Kementrian Agama menimpali bahwa memang nasib guru honorer sekarang memprihatinkan. Karena dana BOS yang biasanya menjadi sumber untuk membayar gaji guru honorer sekarang sangat terbatas, selain sekolah ibu saya yang juga berstatus negeri mengikuti peraturan daerah untuk tidak memungut biaya apapun bagi peserta didiknya, lalu dari mana lagi sumber dana untuk menggaji guru honorer ini?
Di sekolah negeri tempat ibu saya mengajar pun memutuskan untuk menyiasati permasalahan ini dengan cara setiap bulannya guru yang berstatus PNS mengadakan iuran seikhlasnya untuk para guru honorer tersebut. Hasil akhir dari iuran itu akan dibagi rata kepada seluruh guru honorer yang ada di sekolah tersebut. Sehingga gaji yang diterima guru honorer tersebut secara tidak langsung menjadi fluktuatif, karena iurannya pun setiap bulannya bisa jadi tidak sama dengan iuran bulan sebelumnya, bisa kadang lebih banyak dan kadang lebih sedikit.
Namun, di satu sisi bersabar dengan model penggajian yang seperti ini, ada kabar baik juga dari sekolah negeri tempat ibu saya mengajar. Beberapa bulan yang lalu, guru dan pegawai yang berstatus honorer dan sudah memiliki database di Kementerian Agama, dapat mengikuti seleksi K2 yang apabila lolos maka akan diangkat sebagai PNS juga. Tiga orang lolos diangkat menjadi PNS di sekolah tempat ibu saya mengajar, dan delapan belas orang pegawai dan guru honorer di angkat sebagai PNS di sebuah MIN yang lokasinya sangat dekat dengan rumah saya.
Inilah yang saya maksud dengan yang muda yang bersabar. Jika sebagai pendidik atau dalam kasus ini guru honorer adalah seorang yang muda itu tadi, yang memang harus bersabar mendapatkan gaji dengan hitungan yang tidak tetap. Namun apabila bersabar dan ulet dalam bekerja tentunya, bisa akan mendapatkan posisi yang lebih lagi suatu saat nanti. Mungkin memang belum banyak yang bisa lolos melalui program K2, namun setidaknya ada jalan lain bagi kesejahteraan guru honorer selain mengikuti seleksi CPNS Nasional bersama sekian juta fresh graduate yang belum mendapatkan pekerjaan.
Sebaiknya memang selagi dalam proses bersabar ini tadi, guru honorer tersebut memiliki usaha sampingan atau berwiraswasta agar tidak hanya mengandalkan gaji yang fluktuatif seperti yang telah saya sebutkan di atas. Karena apabila hanya mengandalkan honorer yang pas-pasan, semangat mengajar guru honorer biasanya melemah, karena memang tidak menafikkan bahwa seseorang bekerja untuk mendapatkan penghasilan. Jika guru honorer tersebut istilahnya memiliki cadangan pendapatan lain, dan passion nya sebagai pengajar, maka paling tidak dia bisa terus mengajar karena itu merupakan panggilan jiwanya namun tidak khawatir dengan pendapatan yang akan ia dapat karena terbantu dengan wiraswasta yang ia geluti. Selain menjadi "yang muda yang bersabar" kenapa tidak juga menjadi "yang muda yang berwirausaha"??
NB : gagasan artikel ini hanya didapatkan dari informasi orang-orang terdekat saya, dan tentunya masih banyak kelemahan dan kesalahan. Pembaca harap memaklumi dan kemudian dapat memberikan kritik saran agar proses belajar menulis saya semakin lebih baik lagi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H