Apa Itu ADHD?
ADHD atau Attention-Defficit/Hiperactivity Disorder merupakan salah satu gangguan neurologis. Menurut Peters dan Douglas, Attention-Deficit/Hyperactivity Disorder (ADHD) adalah suatu gangguan yang menyebabkan individu memiliki kecenderungan untuk mengalami masalah pemusatan perhatian, kontrol diri, dan kebutuhan untuk selalu mencari stimulasi (dalam Rusmawati & Dewi 2011:75).
Penyandang ADHD dapat terhambat dalam merespons situasi. Penyandang ADHD biasanya mengalami masalah perilaku, sosial, kognitif, akademik, dan emosional, serta mengalami hambatan dalam mengaktualisasikan potensi kecerdasannya (Ferdinand, 2007: 14).
ADHD dibagi menjadi 3 sub tipe, yaitu: tipe predominant/inattentive, tipe hiperaktif/impulsif, tipe kombinasi antara inattentive dan hiperaktifitas/impulsif tingkat tinggi (APA, 2000 dalam Nevid, Rathus & Greene, 2005:160).
Diagnosis pada ADHD
Berdasarkan DSM-IV (APA , 2000 dalam Lovecky, 2004:45), dikatakan bahwa ADHD merupakan gangguan yang dapat dideteksi sebelum anak usia tujuh tahun. Namun, pada faktanya, banyak orang yang luput dari diagnosis hingga usianya dewasa.
Hasil survei Saputro (2009) menyatakan bahwa, 4%-12% di antara anak usia sekolah mengalami ADHD dengan perbandingan laki-laki : perempuan = 4 : 1 sampai 9 : 1. Berdasarkan jumlah tersebut, 30%-80% diagnosis menetap hingga usia remaja, dan 65% hingga usia dewasa.
Menurut sebuah studi CDC yang diterbitkan dalam Journal of American of Psikiatri Anak dan Remaja, terjadi peningkatan 42% dalam jumlah kasus ADHD yang dilaporkan sejak tahun 2003. Pada saat 2013, berdasarkan survei terhadap orang tua, 11% dari 6,4 juta anak yang berusia 4-17 terdiagnosis ADHD.
Kasus ADHD ini juga masih banyak belum diketahui. Masih banyak orang yang luput dari diagnosis ADHD. Hal ini dikarenakan kurangnya kesadaran tentang adanya gangguan ADHD ini. Biasanya orang yang memiliki gejala ADHD, tetapi tidak pernah meminta diagnosis kepada profesional sering dianggap sebagai orang yang berperilaku buruk dikarenakan gejala-gejala ADHD mereka.
Pada tahun 2007, diperkirakan kurang dari 20% dari orang dewasa yang terdiagnosis ADHD (Newcorn, Weiss, & Stein, 2007). Kehadiran komorbiditas umum, seperti depresi, kecemasan, dan variabilitas dalam presentasi selama perkembangan dapat mempersulit diagnosis (Wilens & Dodson, 2004). Kurangnya diagnosis dilaporkan dapat mengganggu kesehatan psikologis (Adler et al., 2008).
Dampak ADHD yang Tidak Terdiagnosis
Berdasarkan pada survei VALIDATE yang dilakukan oleh U.S. National Health and Wellness Survey, depresi, hipertensi, dan insomnia lebih umum didapati pada responden yang bergejala ADHD tanpa diagnosis resmi dibandingkan pada responden yang terdiagnosis ADHD. Hal ini tentu berdampak pada beberapa aspek dalam kehidupan. Dibandingkan dengan individu yang belum terdiagnosis ADHD, individu yang sudah terdiagnosis, secara signifikan lebih baik dalam produktivitas kerja, kualitas kehidupan, dan harga diri.
Aktivitas dan kegelisahan pada anak ADHD menghambat kemampuan mereka di sekolah. Mereka tampak tidak dapat duduk dengan tenang, mereka gelisah, dan dapat melakukan perilaku yang berbahaya, seperti berlari ke jalan tanpa melihat keadaan di jalan terlebih dahulu (Nevid J.F. dkk, 2003:160). Selain itu, anak-anak ADHD juga mengalami keterbatasan dalam hal visual motor-koordinasi, visual persepsi, pengorganisasian, hubungan visual-spasial, ketergantungan dalam bidang, kemampuan pengurutan, kemampuan perencanaan, efek ketidakpastian, dan kepekaan sosial.
Berdasarkan penelitian Owens (2020), dengan menggunakan teknik pencocokan untuk membandingkan anak-anak yang terdiagnosis dan tidak terdiagnosis, yang memiliki gejala ADHD dan keterampilan kognitif yang sama sebelum diagnosis, menemukan bahwa kondisi sosial dalam bentuk keparahan perilaku prediagnosis dan penerimaan pengobatan memainkan peran penting dalam membentuk hubungan antara diagnosis ADHD dengan perilaku masa mendatang di sekolah.