Indonesia masih menghadapi tantangan besar dalam dunia pendidikan. Faktanya, Indonesia bukanlah negara yang kekurangan motivasi untuk belajar. Mulai dari pahlawan bangsa yang berasal dari Sabang sampai Merauke, semuanya memiliki semangat tinggi dalam mencapai pendidikan setinggi-tingginya. Namun, mengapa peringkat pendidikan (dan hal-hal yang berkitan dengan itu) kita berada dalam kondisi yang memprihatinkan dan tertidur?
Hal-hal tersebut terjadi karena sistem pendidikan Indonesia membutuhkan pembenahan serius untuk memastikan kualitas pendidikan yang lebih baik dan berkelanjutan. Beberapa masalah dalam pendidikan Indonesia adalah:
1. Rendahnya Kesejahteraan Guru
Meskipun profesi guru sering disebut sebagai pekerjaan mulia karena memiliki peran yang besar dalam membentuk generasi penerus bangsa, tetapi faktanya tidak demikian. Penghargaan dan upah terhadap guru masih jauh dari kata layak. Banyak guru honorer yang harus bertahan dengan gaji yang jauh dibawah standar layak, bahkan tidak cukup untuk kebutuhan sehari-hari. Beban kerja mereka yang melampaui tugas utama mengajar, ditambah tekanan ekonomi, sering sekali memaksa mereka mencari pekerjaan sampingan. Ironisnya, penghargaan finansial yang rendah ini berbanding terbalik dengan tuntutan terhadap profesionalisame guru yang terus meningkat.
2. Program Pendidikan Profesi Guru (PPG)
Pendidikan Profesi Guru (PPG) adalah program yang diharuskan bagi siapa saja yang ingin menjadi guru profesional. Program ini tidak hanya memberatkan mahasiswa pendidikan yang sudah menempuh pendidikan selama empat tahun, tetapi juga menimbulkan ketidakadilan. Mahasiswa dari jurusan pendidikan merasa bahwa kurikulum mereka seharusnya sudah cukup mempersiapkan mereka sebagai guru tanpa harus mengikuti program tambahan. Namun, kenyataannya, mereka tetap diwajibkan mengikuti PPG, yang membutuhkan biaya dan waktu tambahan.
3. Perubahan Kurikulum
Perubahan kurikulum yang terus terjadi juga menjadi salah satu masalah terbesar. Guru harus selalu menyesuaikan metode pengajaran mereka dengan kurikulum baru yang sering kali berubah tanpa evaluasi yang jelas. Hal ini menjadi tantangan khususnya bagi guru yang sudah tidak muda lagi, karena mereka kesulitan beradaptasi dengan sistem baru. Dampaknya, kualitas siswa yang diajarkan juga menurun. Banyak siswa ditingkat SD hingga SMA yang masih kesulitan dalam kemampuan dasar seperti membaca, menulis, dan berhitung. Kebijakan yang diambil oleh Kementerian Pendidikan sering kali terlihat hanya berfokus pada inovasi sesaat tanpa mempertimbangkan dampak jangka panjang.
Kritik semakin banyak terdengar, terutama di era Menteri Pendidikan Nadiem Makarim, di mana beberapa program dianggap kurang matang dan hanya sekadar eksperimen tanpa memperhatikan dampak jangka panjang. Penghapusan Ujian Nasional (UN) pada masa pandemi Covid-19 menjadi salah satu contoh kebijakan yang terkesan tergesa-gesa. Kebijakan ini memang didasari alasan yang masuk akal, tetapi dampaknya terhadap siswa sangat besar. Banyak siswa yang kehilangan kesempatan untuk mengukur kemampuan mereka secara objektif. Selain itu, kebijakan mendadak seperti penghapusan tes akademik dalam Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) dan menggantinya dengan tes skolastik justru menambah kebingungan.
Harapan besar pendidikan Indonesia kini tertuju pada pemerintahan baru dibawah kepemimpinan Prabowo-Gibran. Semoga Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dapat secara perlahan menyelesaikan berbagai permasalahan di bidang pendidikan, mulai dari kesejahteraan guru, akses pendidikan yang merata di seluruh daerah, hingga kurikulum yang lebih stabil dan relevan. Dengan kebijakan yang lebih terencana dan berbasis solusi nyata, semoga pendidikan Indonesia mampu mencetak generasi unggul.