Psikologi forensik merupakan bidang ilmu yang memiliki berbagai macam kontribusi dalam penanganan kasus di Indonesia. Mulai dari proses penyelidikan, penyidikan, hingga keterlibatan dalam proses persidangan. Peran Psikolog Forensik sendiri kini semakin dibutuhkan, terutama dalam menyelesaikan kasus-kasus pidana yang membutuhkan pemeriksaan secara psikologis baik kepada pelaku kejahatan, korban, dan orang-orang yang terlibat dalam kasus tersebut seperti saksi kejadian. Lalu apa saja keterlibatan psikologi forensik dalam kasus-kasus hukum di Indonesia? yuk kita bahas ^_^
Seperti yang telah dibahas sebelumnya, psikologi forensik memiliki kontribusi baik dalam proses penyelidikan, penyidikan, dan bahkan dalam proses persidangan. Dalam proses penyelidikan, seorang psikolog forensik dapat membantu kepolisian dengan melakukan criminal profiling dan otopsi psikologi. Criminal profiling merupakan salah satu bentuk teknik analisis perilaku yang digunakan untuk membantu identifikasi karakteristik kriminal tertentu, seperti pola perilaku dan kepribadian, melalui analisis TKP, modus operandi, serta viktimologi. Lalu dalam proses penyidikan, psikolog forensik dapat berperan dalam melakukan pemeriksaan pelaku seperti melakukan deteksi kebohongan atau bahkan melakukan pemeriksaan psikologis kepada pelaku kejahatan. Sedangkan dalam proses persidangan, psikolog forensik dapat menjadi saksi ahli yang memberikan keterangan sebagai ahli psikologi forensik untuk membantu majelis hakim dalam membuat keputusan dalam pengadilan. Selain ketiga proses tersebut, psikologi forensik memiliki beragam kontribusi lainnya dalam penanganan sebuah kasus, diantaranya yaitu:
Insanity and Competency (Kegilaan dan kompetensi)
Dalam hal ini, seorang psikolog forensik berperan dalam melakukan "penentuan kegilaan" dan juga melakukan "penilaian kompetensi". Penentuan kegilaan yang dimaksud disini yaitu dengan melakukan pemeriksaan psikologis untuk mengetahui kondisi mental orang tersebut dalam melakukan pelanggaran, beberapa bulan atau tahun sebelumnya. Dalam sistem hukum, mens rea atau "pikiran yang bersalah" sangat penting untuk klasifikasi tindakan ilegal, sehingga individu yang tidak menyadari arti tindakannya tidak boleh dianggap bertanggung jawab secara pidana terhadap perbuatan mereka. Perilaku tersebut kemudian dicirikan sebagai psikotik dan gila. Sedangkan penentuan kompetensi dilakukan untuk memastikan bahwa individu yang sedang menjalani proses dalam pengadilan dapat memahami sifat dan tujuan proses pengadilan. Hal ini dikarenakan proses pidana dapat tidak dapat dilanjutkan kepada siapapun yang tidak dapat memahami sifat dan tujuan pengadilan.
2. Risk Assessment and Predictions of Dangerousness (Penilaian risiko dan Prediksi berbahaya)
Penilaian risiko merupakan suatu proses mengkonseptualisasikan berbagai bahaya untuk membuat penilaian tentang kemungkinan bahaya dan kebutuhan tindakan pencegahan. Konsep "risiko" itu sendiri cukup kompleks dan mencakup berbagai aspek seperti penilaian sifat bahaya, kemungkinan terjadinya bahaya, frekuensi kejadian, dan keseriusan konsekuensi. Oleh karena itu, dilakukan prediksi berbahaya yaitu dengan membuat prediksi tentang perilaku di masa depan berdasarkan beberapa faktor yang digabungkan menjadi skema prediksi. Proses-proses tersebut dapat dilakukan melalui penilaian psikologis terhadap pelaku kejahatan.
Contoh penerapan penilaian risiko dan prediksi berbahaya ini yaitu pada kasus Thomas Barefoot yang menjadi pelaku pembunuhan besar-besaran terhadap seorang petugas polisi di Bell County, Texas. Dilakukan sidang terpisah yang bertujuan untuk menentukan hukuman mati bagi Thomas, dan setelah dilakukan penilaian risiko dan prediksi berbahaya kepada Thomas, para ahli mengungkapkan bahwa Thomas memiliki kemungkinan untuk melakukan tindakan kejahatan lebih lanjut sehingga dapat menjadi ancaman bagi masyarakat. Oleh karena itu, diputuskanlah bahwa Thomas Barefoot dijatuhi hukuman mati.
3. Syndrome Evidence
Sindrom biasanya didefinisikan sebagai sekumpulan gejala yang mungkin ada bersamaan, sehingga dapat dianggap menyiratkan kelainan atau penyakit. Salah satu bentuk sindrom tersebut yaitu Battered Woman Syndrom atau bisa disebut dengan Sindrom Wanita Babak Belur. Sindrom wanita yang babak belur didefinisikan sebagai reaksi yang diduga seorang wanita terhadap pola pelecehan fisik dan psikologis terus-menerus yang dilakukan pasangannya padanya (Walker, 1984a; 1984b). Peran seorang psikolog forensik dalam penilaian Battered Woman Syndrom yaitu dengan melakukan pemeriksaan psikologis menyeluruh yang mengeksplorasi sejarah hubungan, riwayat pelecehan, upaya untuk meninggalkan hubungan, dan perasaan wanita tentang almarhum. Pemeriksaan perlu dilakukan dengan cara yang tidak menghakimi. Selain itu, psikolog forensik dapat menjadi saksi ahli yang bertujuan untuk mencari fakta dengan perspektif lain untuk menafsirkan tindakan wanita.
4. Child Sexual Abuse (Pelecehan Seksual pada Anak)
Kasus pelecehan seksual pada anak terus bertambah seiring berjalannya waktu tidak hanya di Indonesia melainkan di dunia. Dalam kasus terkait pelecehan seksual pada anak, seorang psikolog memiliki beberapa peran diantaranya yaitu pertama, mengevaluasi anak. Pelecehan seksual merupakan hal yang tidak mudah untuk dibicarakan bahkan bagi para orang dewasa, dan anak-anak memiliki sedikit keterbatasan dalam kemampuannya untuk menjelaskan apa yang terjadi padanya serta sulit dalam memisahkan kenyataan dan fantasi sehingga sulit dalam meminta keterangan dari korban pelecehan seksual yang merupakan anak-anak. Sehingga, psikolog klinis bertugas dalam mengevaluasi peristiwa pelecehan seksual yang dialami oleh anak melalui cara atau metode yang sesuai bagi anak anak. Metode yang seringkali digunakan oleh para psikolog klinis dan para pekerja sosial yaitu dengan menggunakan boneka dengan detail anatomi dan bahan lain sebagai tambahan untuk wawancara untuk menilai adanya pelecehan.
Kedua, melakukan penilaian kompetensi untuk bersaksi. Ketika pihak berwenang telah menyimpulkan bahwa pelecehan seksual memang terjadi dan tuntutan dibuat, anak tersebut dapat dipanggil untuk bersaksi pada sidang pendahuluan dan persidangan. Dalam hal ini, hakim dapat berkonsultasi dengan psikolog, yang mungkin menggunakan modifikasi dari beberapa prosedur yang digunakan di pengadilan untuk orang dewasa.
Ketiga, mempersiapkan anak untuk bersaksi. Beberapa anak yang terkait dengan kasus pelecehan seringkali merasa gentar dalam melakukan face trial. Dalam hal ini, jaksa penuntut dapat meminta psikolog untuk membantu membuat anak yang gelisah menjadi berada dalam kondisi yang senyaman mungkin. Selain itu, seorang psikolog juga dapat berperan dalam mengembangkan prosedur inovatif yang bertujuan untuk mengurangi stres ketika seorang anak bersaksi tentang pelecehan seksual.
Keempat, bersaksi sebagai saksi ahli. Dalam proses persidangan, psikolog dapat berperan sebagai saksi ahli, yaitu dengan memberikan kesaksian tentang masalah akurasi saksi mata dan sugestibilitas anak-anak. Selain itu, dalam proses penyelidikan pun psikolog dapat diminta untuk melakukan wawancara terhadap anak yang menjadi korban pelecehan untuk memastikan kebenaran dari kesaksian yang diberikan oleh anak tersebut.
Selain keempat hal diatas, seorang psikolog juga dapat berkontribusi dengan memberikan pendampingan untuk proses pemulihan anak yang menjadi korban pelecehan seksual, dan memberikan penjelasan serta bimbingan pada orangtua korban mengenai bagaimana cara memperlakukan anak tersebut kedepannya. Dilansir dari KompasTv, terdapat salah satu contoh kasus yaitu pelecehan seksual yang terjadi di kota Banjarmasin, Azizah yang merupakan seorang ahli Psikologi Satgas Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) mengatakan,