Dewasa ini, masyarakat terbiasa untuk menuntaskan pekerjaan yang menumpuk dalam tenggat waktu yang singkat. Berbagai keluhan seringkali diutarakan oleh mulut mereka, mulai dari penyesalan akibat terlalu sering menunda pekerjaan,
atasan yang tidak memiliki hati nurani, sampai dengan keinginan untuk terus mengoreksi pekerjaan agar terlihat sempurna. Fenomena ini disebut dengan perfeksionisme.
Menurut beberapa ahli, perfeksionisme dapat didefinisikan sebagai sebuah karakteristik manusia yang cenderung mengejar kesempurnaan. Hal ini dipengaruhi oleh standar tinggi yang dimiliki individu untuk mencapai tujuan tertentu.
Meskipun beberapa peneliti menyampaikan bahwa perfeksionisme bersifat positif karena memberikan motivasi bagi seseorang, nyatanya perfeksionisme memiliki sifat negatif dan cenderung kontras terhadap kesejahteraan manusia.
Dampak negatif perfeksionisme akan terjadi ketika manusia tidak realistis pada dirinya sendiri sehingga menetapkan standar yang terlalu tinggi dari kesanggupannya. Manusia seringkali membuat ekspektasi yang berlebih terhadap dirinya sendiri. Berbagai tujuan yang tidak realistis ditetapkan setiap minggunya, hanya bagi mereka untuk menghukum diri sendiri ketika gagal mencapainya.
Sebagai contoh, ketika seseorang dihadapkan oleh suatu pekerjaan, ia tidak akan berhenti sampai ia merasa karyanya sempurna. Ia menetapkan bahwa pada hari Sabtu, tugas tersebut harus tuntas karena masih ada pekerjaan lain yang menunggu. Namun, ia tidak bisa menahan dirinya untuk meninjau dan menyempurnakan pekerjaannya secara berkelanjutan.
Apabila hasil yang didapatkan tidak sesuai dengan keinginannya, ia akan menyalahkan dirinya sendiri. Pada akhirnya, kebencian muncul akibat ketidakpuasan pada diri.
Gordon Fleet, seorang profesor psikologi dari Universitas Toronto, Kanada, melakukan penelitian mengenai perfeksionisme ekstrem. Menurut beliau, perfeksionisme ekstrem menyebabkan masalah fisik, emosional, dan berpotensi merusak hubungan satu pihak terhadap pihak lainnya. Stres tingkat tinggi, masalah gangguan makan, mudah marah, depresi, dan kecemasan terus menghantui mereka yang memiliki tingkat perfeksionisme tinggi.
Pada dasarnya, manusia merupakan makhluk hidup yang tidak pernah puas sehingga kita akan mengerahkan energi, waktu, dan pikiran mereka untuk meraih rasa puas itu sendiri. Sejak lama, perfeksionisme selalu dikaitkan dengan kurangnya kesejahteraan manusia. Hal ini didukung oleh teori self-determination yang mengungkapkan bahwa ketika kebutuhan seseorang tidak dapat dipenuhi,
kesejahteraan hidupnya dibuktikan rendah. Dengan demikian, orang-orang yang perfeksionis kerap memutuskan hubungan sosial dengan orang lain. Fenomena ini seringkali dikenal sebagai social disconnection.
Perfeksionisme dapat tumbuh dan berkembang dalam diri individu akibat pengalamannya di masa lalu, terutama pada masak kanak-kanak. Individu dapat merasa tidak aman ketika orang lain, khususnya orang tua, menunjukkan ketidaksetujuan terhadap usaha individu yang tidak membuahkan hasil yang sempurna.