Lihat ke Halaman Asli

Putri Nur

Mahasiswa

Cara Pandang Kasus dengan Filsafat Hukum Positivisme

Diperbarui: 1 Oktober 2024   13:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Sudah beberapa kali hukum Indonesia menimpa kasus hukum pada lansia. Permasalahan tersebut terjadi karena tidak disengaja. Kurangnya pemahaman hukum membuatnya rentan diperkarakan oleh pihak lain. 

Kasus seorang nenek berusia 63 tahun yang divonis penjara dan pandangan filsafat hukum positivisme.

Pada tahun 2014, terjadi kasus hukum yang melibatkan seorang nenek berusia 63 tahun yang sangat mengkhawatirkan. Nama nenek Asyani, diketahui divonis 1 tahun penjara dengan masa percobaan 1 tahun 3 bulan, dan denda sebesar Rp 500 ribu subsider 1 hari hukuman percobaan. Beliau dinyatakan bersalah karena mencuri dua batang pohon jati milik perhutani. Alasan nenek Asyani mencuri kayu tersebut adalah untuk digunakan sebagai alas tidur. Beliau menyampaikan bahwa lahan itu adalah milik suaminya yang telah meninggal. 

Dari perspektif positivisme, kasus nenek Asyani dapat dianggap bersalah atas tuduhan pencurian. Penuntutan ini harus dipisahkan antara moralitas dan sosial karena keadilan bertujuan untuk menegakkan kepastian hukum. Dari bukti kesalahan, namun jika dipertimbangkan dengan prinsip keadilan, mungkin tidak adil. Sedikitpun barang yang dicuri, tindakan tersebut harus dihukum.

Mazhab Positivisme Hukum

Positivisme adalah aliran filsafat hukum yang menganggap bahwa teori hukum didasarkan pada ius yang telah diterapkan sebagai lege atau lex untuk menegaskan kepastian mengenai apa yang diakui sebagai hukum atau tidak. Positivisme hukum analitis yang dikembangkan oleh John Austin, antara abad ke-19 dan awal abad ke-20,mendominasi pemikiran hukum di Barat. Peran positivisme analitis, terutama dalam implementasinya, adalah menerapkan kewenangan yang menerapkan hukum. Maka tidak mengherankan jika kritik terhadap positivisme hukum muncul ketika hukum menjadi kewenangan atau dijadikan instrumen kekuasaan untuk mencapai tujuan pemerintah, bukan untuk mencapai tujuan hukum. Namun, hal ini tidak diidentifikasi dengan positivisme hukum yang menjadi penyebab kegagalan dalam kehidupan hukum, terutama dalam penegakan hukum. Hukum positivisme secara tegas memisahkan antara moralitas dan sosial.

Argument Terhadap Mazhab Hukum Positivisme dalam Hukum Di Indonesia.

Menurut pendapat saya, hukum positivisme bersifat pasti dan jelas karena mengindentifikasi hukum dengan peraturan perundang-undangan. Di Indonesia, pembelajaran positivisme hukum mengajarkan kepada hakim bahwa hukum hanya berkaitan dengan norma-norma. Menurut aliran ini, nilai keadilan dan moral karena sifatnya yang abstrak dan spekulatif tidak bisa dianggap sebagai ilmu, tetapi sebagai metafisika. 

Mengenai peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh pemerintah atau negara, berupa perintah yang harus dipatuhi karena memiliki sanksi. Hukum positif mengandung nilai-nilai yang telah disepakati, kemudian diintegrasikan ke dalam kriteria hukum positif. Dalam arus Hukum positivisme, istilah hukum juga mencakup nilai-nilai yang sah dalam hukum positif (perundang-undangan) hanya keabsahan dan ditentukan dalam proses pengembangan hukum positif. Setelah diundangkan, hukum berlaku mutlak dan tidak dapat ditawar, tidak peduli apakah hukum itu efektif atau adil.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline