Lihat ke Halaman Asli

Krisis Antibiotik: Peran Strategi Farmasis Dalam Menyelamatkan Nyawa

Diperbarui: 17 Desember 2024   11:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi resistensi antimikroba (Sumber : https://shorturl.at/YyH9y)

Indonesia tengah menghadapi permasalahan serius dalam bidang kesehatan, yaitu krisis antibiotik atau resistensi antimikroba yang marak diperbincangkan di media massa. Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Kementrian kesehatan Republik Indonesia mengungkapkan “Prevalensi resistensi antimikroba di Indonesia mencapai 70,75% pada tahun 2023” (Kementerian Kesehatan RI, 2023). Selain itu WHO juga menegaskan bahwa “Indonesia termasuk dalam lima negara dengan perkiraan peningkatan persentase konsumsi antimikroba tertinggi pada tahun 2030” (WHO, 2020). Data ini menyatakan bahwa resistensi antimikroba menjadi ancaman yang sangat serius untuk kesehatan masyarakat.

Antimikroba, termasuk antibiotik, antivirus, antijamur, dan antiparasit, adalah obat yang digunakan untuk mencegah dan mengobati penyakit pada makhluk hidup. Resistensi antimikroba atau Antimicrobial Resistance (AMR) adalah kondisi mikroba seperti bakteri, virus, dan jamur tidak dapat merespons obat antimikroba. Hal ini dikarenakan mikroba berevolusi dan mengembangkan mekanisme baru untuk melindungi diri dari obat-obatan tersebut. Resistensi antibiotik merupakan salah satu bentuk AMR, khususnya kebalnya bakteri terhadap antibiotik. Bakteri yang sangat kebal terhadap obat ( secara ekstensif resistan terhadap obat atau XDR) atau sepenuhnya kebal ( benar-benar resistan terhadap obat atau TDR) sering disebut sebagai “superbug.”

Resistensi antibiotik dapat terjadi karena beberapa faktor. Penggunaan antibiotik secara meluas dan tidak tepat menyebabkan penyebab utama resistensi antibiotik. Konsumsi antibiotik yang tidak diperlukan atau peresepan yang tidak tepat menyebabkan kekebalan terhadap bakteri. Selain itu, kurangnya pengetahuan pasien, pengawasan yang minim, dan keterbatasan penelitian untuk menemukan antibiotik baru juga menjadi penyebab. Di sisi lain, kemajuan transportasi dan globalisasi turut mempermudah penyebaran bakteri antar daerah, negara, bahkan lintas benua.

 Merawat pasien dengan infeksi AMR sangatlah sulit karena beberapa faktor:

1.Pilihan obat terbatas : Obat yang seharusnya efektif sering kali tidak lagi ampuh.

2.Penegakan diagnosis lambat : pemeriksaan kultur dan uji sensitivitas yang akan memakan waktu.

3.Efek samping yang berat : Pengobatan dengan antibiotik tertentu sering kali menimbulkan efek samping yang serius.

4.Penyebaran infeksi yang cepat : Infeksi AMR dapat menyebar dengan cepat sehingga diperlukan pengendalian yang ketat.

5.Biaya tinggi : Perawatan yang panjang dan kompleks menyebabkan biaya pengobatan menjadi mahal.

 Oleh karena itu, peran berbagai pihak, terutama farmasis sangat diperlukan dalam penanganan kasus ini. Farmasis bertanggung jawab besar dalam mengelola penggunaan obat-obatan, termasuk antibiotik, yang banyak diperoleh dari instalasi farmasi rumah sakit, apotek, atau klinik.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline