Lihat ke Halaman Asli

Transformasi Menuju Ekonomi Hijau di Indonesia

Diperbarui: 22 Juli 2024   00:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

Dalam beberapa dekade terakhir, konsep ekonomi hijau telah menjadi pusat perhatian global sebagai respons terhadap perubahan iklim dan degradasi lingkungan. Ekonomi hijau berfokus pada pengurangan emisi karbon, peningkatan efisiensi sumber daya, dan pemeliharaan keanekaragaman hayati sambil mendorong pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan sosial. 

Di Indonesia, transisi menuju ekonomi hijau tidak hanya penting untuk keberlanjutan lingkungan tetapi juga untuk daya saing ekonomi di pasar global. Artikel ini akan membahas berbagai tantangan dan peluang yang dihadapi Indonesia dalam upayanya menuju ekonomi hijau, serta langkah-langkah strategis yang dapat diambil untuk memaksimalkan manfaat dari transformasi ini.

Tantangan Menuju Ekonomi Hijau

Salah satu tantangan terbesar yang dihadapi Indonesia dalam transisi menuju ekonomi hijau adalah ketergantungan yang kuat pada energi fosil, terutama batu bara. Data dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menunjukkan bahwa sekitar 60% pembangkit listrik di Indonesia masih menggunakan batu bara sebagai sumber energi utama. 

Ketergantungan ini menimbulkan dilema besar karena meskipun batu bara relatif murah dan mudah diakses, penggunaannya menghasilkan emisi karbon yang tinggi, yang berkontribusi terhadap pemanasan global. Peralihan dari energi fosil ke energi terbarukan memerlukan investasi yang signifikan dalam teknologi dan infrastruktur baru, yang menjadi tantangan tersendiri bagi negara berkembang seperti Indonesia.

Regulasi dan kebijakan yang belum konsisten juga menjadi hambatan dalam pengembangan ekonomi hijau di Indonesia. Meskipun pemerintah telah mengeluarkan berbagai kebijakan untuk mendukung energi terbarukan, seperti feed-in tariff dan insentif pajak, implementasi kebijakan ini sering kali terhambat oleh kurangnya koordinasi antar lembaga dan lemahnya penegakan hukum. 

Sebagai contoh, meskipun ada upaya untuk mengurangi subsidi energi fosil, subsidi ini masih tetap besar, menghalangi perkembangan energi terbarukan. Selain itu, kebijakan yang terfragmentasi dan sering berubah-ubah menimbulkan ketidakpastian bagi investor yang ingin berinvestasi dalam proyek-proyek hijau.

Keterbatasan infrastruktur juga menjadi tantangan signifikan dalam transisi ke ekonomi hijau. Infrastruktur yang mendukung pengembangan energi terbarukan, seperti jaringan distribusi listrik yang efisien dan fasilitas pengolahan limbah yang modern, masih sangat terbatas. 

Di banyak daerah, terutama di wilayah terpencil, akses ke listrik masih menjadi masalah, sehingga pengembangan energi terbarukan seperti tenaga surya dan angin menghadapi banyak hambatan. Selain itu, teknologi untuk mengolah limbah dan mendaur ulang bahan-bahan masih belum optimal, menyebabkan masalah lingkungan yang berkelanjutan.

Selain itu, tantangan lain yang dihadapi adalah resistensi dari masyarakat dan sektor industri yang sudah nyaman dengan metode konvensional. Transisi menuju ekonomi hijau membutuhkan perubahan perilaku dan cara kerja yang signifikan, yang sering kali dihadapi dengan resistensi. Misalnya, banyak perusahaan yang enggan berinvestasi dalam teknologi hijau karena biaya awal yang tinggi dan ketidakpastian mengenai pengembalian investasi. Di sisi lain, masyarakat yang terbiasa dengan bahan bakar fosil mungkin tidak segera menerima alternatif energi baru karena kurangnya informasi dan edukasi mengenai manfaat jangka panjangnya.

Peluang dalam Ekonomi Hijau

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline