Lihat ke Halaman Asli

Sinta Bukan Siti

Diperbarui: 25 Juni 2015   20:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Jalan hidup yang memang sudah digariskan Tuhan atau ketakutan melepaskan diri dari kegampangan mencari uang? Pertanyaan itu muncul begitu saja setelah pertemuanku dengan Siti, teman masa kecilku dulu.

Bermula dari pesan singkat yang kuterima di hpku. "Maaf, benar ini nomor Putri? Aku Siti. Siti Maimunah. Masih ingat?", demikian isi pesan singkat tersebut.

Aku surprise. Tentu saja aku masih ingat. Mana bisa aku lupa pada si lesung pipi itu. Kami berasal dari desa yang sama, menghabiskan masa kecil bersama. Berangkat dan pulang sekolah, berlarian menyusuri pematang sawah dan berlomba cepat menuju sungai untuk mengambil air, semua kami lakoni bersama. Berdua dengan Siti. Kala itu bukan tak ada anak lain yang seumuran denganku, tapi entah mengapa aku merasa lebih cocok berteman dengan Siti.

Mungkin karena dia baik. Bisa jadi karena dia cantik. Atau karena dia pintar dan saleha. Ya, dipikiran kanak-kanakku waktu itu Siti adalah gambaran sempurna seorang perempuan. Disaat anak-anak lain sibuk bermain sepulang dari sekolah, Siti harus membantu ibunya berjualan kue keliling desa. Buatku, itu sudah cukup menunjukkan kebaikan hatinya. Malam harinya kami biasa menghabiskan waktu di mesjid. Shalat magrib, mengaji, dan shalat Isya berjamaah kami jalani di sana. Soal ini pun siti jangan ditanya. Tak seharipun dia melewatkannya. Apalagi karena suaranya yang bagus dan kepiawaiannya membaca Al-qur'an Siti seringkali diminta ustaz kami untuk membantu mengajari anak-anak lain yang baru belajar mengaji. Bukti kesalehaannya ini pula yang sering membangkitkan semangatku bila kadang-kadang timbul rasa malas untuk pergi ke mesjid.

Soal kepintaran, Siti apalagi. Ternyata rutinitas berjualan tidak menjadi penghalang bagi Siti untuk berprestasi. Dari kelas satu sampai kelas enam dia terus menjadi juara. Dengan semua kelebihannya yang begitu menonjol, mana mungkin aku lupa padanya.

Segera ku balas pesan dari Siti dengan perasaan tak karuan. Senang, penasaran, dan rindu membuat sms yang ku kirim mungkin terlalu panjang, terlalu banyak pertanyaan. Hasilnya, bukan sms balasan yang kuterima. Malah hpku berdering tanda ada panggilan masuk. Dari Siti.

"Pertanyaanmu terlalu panjang untuk dibalas dengan sms", kalimat itu yang terdengar segera setelah aku menekan tanda oke di hpku.

Aku tertawa, kemudian berkata," maaf, aku begitu gembira, begitu penasaran, begitu ingin tau segala hal tentang kamu. Sejak pindah dari desa kita dulu aku tak pernah mendengar kabar apapun tentangmu".

Kuulangi pertanyaan-pertanyaan yang tadi telah kukirimkan lewat sms. Ku dengar Siti menghela nafas panjang sebelum menjawab pertanyaanku. Seolah pertanyaan-pertanyaan yang barusan kuajukan sulit untuk dijawabnya.

"Ceritanya terlalu panjang bila kusampaikan sekarang. Kalau kamu punya waktu kita ketemuan", Siti berkata.

Akhirnya aku dan Siti mengatur pertemuan di suatu tempat. Saat aku melihatnya pertamakali, setelah sekian lama, tak banyak hal yang berubah pada dirinya. Walau tentu saja wajah cantik kanak-kanaknya kini menjadi wajah cantik yang lebih matang. Yang berubah justru dandanannya yang kelihatan sangat modis.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline