Lihat ke Halaman Asli

Putri Lailatul Aziza

Mahasiswa UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung

Reformasi Pajak Global: Mengatasi Penghindaran Pajak di Era Digital

Diperbarui: 27 November 2024   18:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Finansial. Sumber ilustrasi: PEXELS/Stevepb

Global text reforms atau reformasi pajak global bukan hanya dialami oleh satu atau beberapa negara saja tetapi salah satu fenomena sejarah yang dampaknya itu dirasakan hampir di seluruh dunia. Dampak dari global text reforms bagi individu memang tidak terasa secara langsung tetapi bagi perusahaan multinasional global tax reforms ini dianggap sebagai game changer karena perubahannya sangat besar dan bersifat fundamental.

Dua dekade terakhir hingga 10–15 tahun lalu, dunia disibukkan dengan berita mengenai perusahaan multinasional yang menghindari kewajiban pajak. Menyikapi masalah tersebut, Tax Center Universitas Padjajaran mengadakan internasional seminar pada sabtu, 18/11/2024 dengan mengusung tema "The Role of Tax Treaties on Global Business: Reforming Global Tax Rules to Combat Digital-Era Tax Avoidance" yang dihadiri oleh beberapa pembicara terkemuka, seperti Prof. Vikram Chand, Ibnu Wijaya, dan Yurike Yuki. Topik yang mereka bahas adalah mengenai masalah penghindaran pajak oleh perusahaan multinasional, tantangan, serta juga solusi dua pilar untuk mengatasi masalah tersebut. Banyaknya perusahaan multinasional yang membayar pajak dengan sangat rendah atau bahkan tidak membayar pajak sama sekali dalam 2 dekade terakhir ini menjadi permasalahan, karena dianggap tidak adil dengan individu yang harus tetap membayar pajak.

Strategi Penghindaran Pajak oleh Perusahaan Multinasional

Sistem pajak internasional yang saat ini berlaku di anggap sudah tidak relevan lagi dengan kondisi ekonomi dan bisnis sekarang yang sudah serba digital. Banyak persoalan yang menyebabkan penghindaran pajak salah satu yang paling mencolok adalah alokasi hak pemajakan saat ini yang lebih berbasis pada kehadiran fisik (physical present). kehadiran fisik (physical present) sendiri itu bentuk dari tax treaties yang sudah dibentuk dari 100 tahun yang lalu. Sistem pajak internasional yang masih mengandalkan kehadiran fisik sebagai basis perpajakan dinilai usang, mengingat perkembangan ekonomi digital saat ini. Konsekuensi dari sistem yang tidak relevan ini adalah hilangnya potensi penerimaan pajak global, terutama dari PPh badan multinasional.

Ada pula insentif-insentif lainnya yang memberikan peluang terciptanya penghindaran pajak salah satunya adalah perbedaan tarif pajak antar negara dan network dengan tax haven country yang memicu profit shifting (pengalihan laba). Salah satu cara yang perusahaan multinasional lakukan untuk mengahindari pajak adalah dengan menaruh perusahaan yang memiliki laba besar di negara yang mempunyai tarif pajak rendah. Begitu pula dengan perusahaan yang labanya kecil atau bisa dikatakan rugi ditaruh di negara yang tarif pajaknya rendah pula. Seperti yang diungkapkan oleh Yurike Yuki “lebih baik saya taruh perusahaan saya yang labanya besar di negara yang tarif pajaknya rendah, sedangkan perusahaan yang labanya kecil atau bahkan rugi taruh di negara yang tarif pajaknya rendah”. Itulah yang dinamakan dengan profit shifting.

Tantangan Pajak di Era Digital

Proyek BEPS (Base Erosion and Profit Shifting) yang diluncurkan sembilan tahun lalu dengan 15 rencana aksi, namun ternyata masih banyak tantangan yang belum terselesaikan,  seperti:

1. Persaingan Pajak Antarnegara
Negara-negara berlomba menawarkan tarif pajak rendah untuk menarik investasi dari perusahaan multinasional. Kompetisi ini sering disebut race to the bottom, di mana tarif pajak terus ditekan hingga sangat rendah. Akibatnya, penerimaan pajak global menjadi tidak optimal, dan negara dengan tarif pajak tinggi kehilangan daya saing.

2. Peluang Pengalihan Keuntungan (Profit Shifting)
Perusahaan multinasional memanfaatkan perbedaan tarif pajak antarnegara untuk mengalihkan keuntungan (profit shifting). Laba ditempatkan di negara dengan tarif pajak rendah (tax haven), sementara kerugian dialihkan ke negara dengan tarif pajak tinggi. Strategi ini mengurangi kewajiban pajak perusahaan secara signifikan, tetapi merugikan negara asal pendapatan.

3. Ketidaksesuaian Sistem Pajak dengan Digitalisasi Ekonomi
Sistem perpajakan yang berbasis pada kehadiran fisik (physical presence) dianggap usang karena tidak relevan dengan ekonomi digital. Banyak perusahaan digital tidak memerlukan kantor fisik untuk menghasilkan pendapatan di suatu negara, sehingga mereka dapat menghindari pajak meskipun mendapatkan keuntungan besar di negara tersebut.

4. Perdebatan Terkait Digitalisasi Model Bisnis
Negara-negara belum sepenuhnya sepakat tentang bagaimana mengatur perpajakan untuk model bisnis digital. Perusahaan-perusahaan teknologi besar sering kali beroperasi lintas negara, dan aturan pajak tradisional sulit diterapkan pada bisnis berbasis digital ini.

5. Tantangan bagi Negara Berkembang
Negara-negara berkembang menghadapi tantangan berbeda dalam implementasi reformasi pajak global. Mereka sering kekurangan infrastruktur, keahlian teknis, atau kapasitas untuk memungut pajak dari perusahaan multinasional. Selain itu, mereka juga menghadapi tekanan dari negara maju untuk menyesuaikan kebijakan pajak.

6. Politik Ekonomi dan Kedaulatan Pajak
Isu perpajakan sering berbenturan dengan kedaulatan negara, karena beberapa negara enggan kehilangan kendali atas kebijakan pajak mereka. Konflik kepentingan politik dan ekonomi sering menghambat tercapainya konsensus global mengenai reformasi pajak.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline