Lihat ke Halaman Asli

Mencari Mutiara Terpendam di Samudera Pendidikan Indonesia

Diperbarui: 25 Juni 2015   05:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

(Tantangan Permasalahan Pendidikan di Indonesia)

Pernahkan kita temukan hal seperti ini di sekitar kita? Saat orang di sekitar kita atau bahkan diri kita sendiri diberi pertanyaan “Sebutkan kelebihanmu!” dan “Apa potensimu?”, maka akan terasa sulit menjawabnya sehingga membutuhkan beberapa waktu sejenak untuk diam dan memikirkan jawabannya. Ada lagi, saat ditanyakan “Apa cita-citamu?“, masih banyak yang menjawab “Membahagiakan kedua orang tua, berguna bagi bangsa, negara, dan agama“. Sungguh, ini adalah jawaban yang abstrak, cita-cita yang teoritis namun tidak bisa diukur, cita-cita yang sangat luhur, namun belum tahu cara untuk mencapainya. Saya akan lebih menghargai saat jawabannya “Membahagiakan kedua orang tua dengan prestasi-prestasi yang akan saya raih”, karena dari jawaban ini sudah jelas, sang anak punya kemampuan dan berusaha untuk berprestasi.

Kasus-kasus seperti ini ternyata masih juga ditemukan di kalangan yang terdidik, kalangan yang telah mengenyam pendidikan formal. Padahal, selayaknya, orang yang telah menempuh bangku pendidikan mampu untuk menentukan bagaimana kelebihan dan potensi dirinya, sehingga tahu dan bisa menentukan cita-cita apa yang sesuai untuk dilakoni nantinya. Hal ini karena tujuan pendidikan sejatinya sebagai sarana untuk pengembangan diri agar menjadi sesuatu yang bermanfaat untuk orang lain.

Tidakkah kita sadari, bahwa pendidikan di Indonesia layaknya samudera yang menyimpan berbagai harta karun yang spesial, dan potensi anak didik menjadi salah satu mutiara yang terpendam dalam samudera tersebut. Tantangan yang dihadapi adalah bagaimana mendapatkan mutiara tersebut lalu memolesnya menjadi hal yang spesial dan berharga.

Berbicara tentang kelebihan, Dale Carnegie mengingatkan bahwa betapa spesialnya diri kita, karena tiap-tiap dari diri kita adalah sesuatu yang sama sekali baru bagi muka bumi ini. Tidaklah ada seorang pun yang persis dengan kita. Selain itu, betapa banyaknya kelebihan yang Tuhan berikan pada kita, kelebihan yang sangat mahal, sampai-sampai kita tidak mau menukarkan kelebihan itu dengan uang satu juta, satu miliar, satu triliun, bahkan berapapun, itulah mata dan penglihatan, telinga dan pendengaran, otak dan pikiran, hati dan perasaan. Kita adalah makhluk yang tak ternilai dan tidak bisa ditukar dengan uang.

Salah satu analisis mengenai pengembangan potensi, antara lain oleh William James, mengutarakan bahwa manusia rata-rata mengembangkan hanya 10% dari potensi yang mereka miliki. Analisis ini menunjukkan bahwa manusia banyak yang tidak mengetahui potensi apa yang terpendam dari diri mereka, atau kalaupun mengetahuinya, banyak yang tidak mengetahui bagaimana cara mengembangkannya. Sekali lagi, inilah yang menjadi tantangan, bagaimana potensi yang spesial itu berkembang menjadi sesuatu yang berharga layaknya mutiara.

Mengenai pendidikan sejak dini, sangatlah bermanfaat jika pendidikan yang ditempuh oleh anak disesuaikan dengan bakat dan minatnya. Marwah Daud Ibrahim menuliskan dalam bukunya, Mengelola Hidup dan Merencanakan Masa Depan, bahwa di Amerika, Jepang, dan Eropa, anak-anak diajak sejak usia dini untuk memilih mata kuliah yang sesuai dengan bakat dan minatnya. Mata pelajaran wajib yang setingkat SLTA di Amerika hanya lima dan selebihnya disesuaikan dengan pilihan peserta didik. Mereka pun diajarkan sesuai dengan pilihan dan diberi motivasi untuk mengembangkan diri di bidang tersebut, sambil mencari tokoh yang telah sukses menggeluti bidang tersebut untuk menjadi inspirasi mereka. Mereka sangat didukung dan diberi fasilitas yang membantu atas pilihan mereka masing-masing. Di sana, setiap anak diterima dengan segala perbedaannya, dan kemampuan-kemampuan kecilpun dihargai sehingga anak terus termotivasi untuk belajar dan berprestasi.

Hal inilah yang juga menjadi inspirasi dari Novel Toto Chan “Gadis Cilik di Jendela” yang terinspirasi dari kisah nyata, sebuah sekolah bernama Tomoe Gakuen di Jepang yang begitu unik menjalankan proses pendidikan kepada anak didiknya. Sekolah yang dikepalai oleh Sosaku Kobayashi ini memberikan kebebasan pada anak muridnya untuk memulai harinya dengan melakukan apa saja yang mereka inginkan. Setiap siswa bebas memilih setiap pelajaran yang akan ia pelajari terlebih dahulu pada hari itu hingga tengah hari kemudian setelah itu mereka akan membuat perjanjian jadwal dengan gurunya dan diberitahukan mengenai jadwal pelajaran lainnya. Ada anak yang ingin membuat puisi, ada yang bereksperimen fisika, bahkan ada pula yang hanya ingin bermain pasir atau ingin membaca buku di perpustakaan. Semuanya diperbolehkan. Metode ini pun memudahkan guru untuk mengetahui minat anak didiknya, termasuk mengetahui karakter siswanya.

Kepala sekolah Kobayashi menghargai sesuatu yang bersifat alamiah dan menginginkan karakter berkembang secara alami. Beliau sangat yakin, bahwa seorang anak dilahirkan dengan watak baik sehingga kepala sekolah Kobayashi berusaha menemukan hal itu dan mengembangkannya agar anak-anak dapat tumbuh dengan kepribadian yang khas. Di sekolah Tomoe juga diajarkan sopan santun dan setiap anak tidak boleh melakukan hal yang membuat kesal orang lain, termasuk mengajarkan cara buang sampah yang benar.

Model-model pendidikan seperti inilah yang sebaiknya bisa menjadi masukan bagi sistem pendidikan di Indonesia. Betapa kondisi anak didik sekarang merasa bahwa sekolah bukan lagi tempat yang nyaman, karena mereka dihantui dengan segudang tugas dan PR. Mereka dipaksa untuk bisa menguasai semua bidang studi dengan materi yang sedemikian abstrak, sehingga mereka pun tertekan, lalu berdampak sering bolos, tawuran, dan pada akhirnya tidak dapat mengerjakan ujian dengan baik. Kemudian, para guru bingung memikirkan penilaian terhadap anak tersebut. Selesai dari wajib 9 tahun, mereka pun belum memahami apa potensi pada diri mereka sesungguhnya. Menginjak SMA, kelimpungan dan gak punya arah akan kemana setelah lulus SMA. Kalau pun ingin kuliah, bingung mengambil jurusan apa...Oh No..

Saat mengajar di sebuah sekolah, hal seperti ini pernah saya temukan, tapi bersyukur sang anak didik masih punya rasa optimis untuk terus memperbaiki dirinya sehingga bisa menemukan apa potensinya yang pas dan cita-cita yang baik untuk dia nantinya. Saya ingin share dan mengajak berpikir kepada kita semua bahwa segala hal itu bermula dari pikiran dan keyakinan diri. Kita bisa mengajarkan pada anak-anak kita bagaimana sang anak akan menapaki masa depannya nanti. Mereka harus bisa paham bahwa setiap orang unik sehingga memiliki cara pendekatan berbeda-beda untuk belajar.

Pastikan bahwa mereka telah percaya diri. Kemudian, ajak mereka untuk menemukan potensi diri, bisa bermula dari hal yang mereka sukai. Bantu mereka untuk menemukan hobi mereka yang bisa bermanfaat untuk dirinya dan orang lain sehingga hobi tersebut dapat dijadikan sebagai profesi. Setelah itu, gunakan role model yaitu orang-orang yang telah sukses dalam bidang yang mereka sukai. Mereka bisa belajar dari orang tersebut bagaimana suka dukanya dalam profesi yang nantinya ingin dia jalani agar mereka senantiasa termotivasi untuk mengembangkan diri.

Semua hal ini bisa dilakukan oleh orang tua pada anaknya, guru pada muridnya, kakak pada adiknya, kepada sesama sahabat, bahkan pada diri kita sendiri. Selanjutnya, selamat menemukan mutiara yang terpendam. Ayo kita oles mutiara tersebut agar mengkilat dan menguntainya menjadi sesuatu yang bermanfaat, karena sebaik-baik manusia yang bermanfaat untuk orang lain. :-)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline