Saat ini mayoritas anak-anak Indonesia, terlebih di Papua, semakin tidak berdaya dengan sistem pendidikan, lingkungan pergaulan yang kurang kondusif untuk mengembangkan diri, minimnya motivasi, dan kurangnya arahan yang jelas terhadap pembangunan karakter sebagai pemimpin masa depan.
Berangkat dari kondisi memprihatinkan ini, perlulah lahirya sebuah gagasan untuk menghadirkan edukasi dan filosofi kehidupan kepada anak-anak melalui “Mimpi Anak Papua”. Papua merupakan daerah yang tertinggal di Indonesia, tetapi tidak menjadi suatu alasan untuk tidak membangun suatu perubahan di Papua khususnya dI ujung timur Indonesia.
Hal ini yang harus diperhatikan, mengapa kita harus memerhatikan Indonesia Timur ? Sebab matahari terbit dari timur, sehingga ada cahaya yang bersinar sebenarnya dari masyarakat Indonesia Timur yaitu Papua. Sebab ada mimpi dari timur Indonesia.
Mimpi merupakan suatu keadaan di mana manusia mengalami suatu kejadian yang memberikan gambaran kehidupan lain yang terkadang yang bisa memberikan makna dalam kehidupan sesungguhnya. Untuk membangun mimpi itu perlu adanya pendidikan yang berkualitas.
Menghadirkan kemajuan di Papua harus dimulai dari kemajuan kualitas pendidikannya. Sebab, tidak ada satu pun Negara maju yang kualitas pendidikannya rendah. Semua tinggi dan semua berkualitas. Artinya, jika ingin memajukan Indonesia, khususnya Papua, maka konstruksi pendidikan yang berkualitas wajib ada dan bisa dinikmati setiap warganya.
Saat ini pendidikan menjadi instrumen penting yang paling dibutuhkan Papua, khususnya di wilayah perkampungan dan pedalaman. Sebab disanalah akar masalah pendidikan Papua yang sebenarnya.
Di kota-kota besar Papua seperti Kota Jayapura, fasilitas sekolah yang memadai dan pendidikan yang berkualitas mulai bisa didapati. Tetapi tidak di kampung-kampung dan wilayah pedalaman Papua. Di sana, fasilitas sekolah yang memadai dan guru-guru berkualitas adalah dua hal yang sama-sama sulit didapati.
Dimana-mana saat kualiatas pendidikan rendah maka akan diikuti dengan tingkat kemiskinan yang tinggi. Ini pula yang terjadi pada Papua. Output dari proses belajar dan yang mengajar tidak optimal membuat peserta didik juga tidak benar-benar terbekali ilmu pengetahuan yang mempuni. Alhasil, daya kognitifitas dari peserta didik akan sangat sulit untuk mencapai level pemahaman, penerapan, analisa, sintesa, hingga evaluasi. Akibatnya ketika memasuki dunia persaingan kerja, mereka akan hanya mengisi level-level yang mengutamakan kekuatan fisik, bukan daya pikir. Sehingga tidak heran jika sampai saat ini, sumber daya alam Papua masih dikuasai korporasi.
Mereka mengupayakan solusi untuk menambal kekurangan guru di kampung-kampung dan pedalaman Papua. Solusi pertama yang dihadirkan adalah merekrut guru-guru lokal, dan yang kedua adalah menghadirkan guru-guru dari program SM3T (Sarjana Mendidik di Daerah Terdepan, Terluar dan Tertinggal) dan GGD (Guru Garis Depan). Namun keduanya menghadapi masalahnya masing-masing.
Rekrutmen guru-guru lokal menghadapi masalah kualitas. Sebab guru-guru yang direkrut mayoritas bertitel di bawah strata satu (S1). Sehingga tidak heran jika persentase pendidik bertitel di bawah S1 sangat besar di Papua. Data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tahun 2018 mencatat sebanyak 41,11 persen guru sekolah dasar di Papua masih bertitel di bawah S1, padahal rata-rata nasionalnya hanya 14,01 persen.
Solusi ini memang bisa membantu kekurangan tenaga guru di kampung dan pedalaman Papua, tetapi tidak mampu menghadirkan kualitas pendidikan yang mumpuni. Sehingga sampai saat ini, di kampung-kampung dan pedalaman Papua masih mengalami kelangkaan pendidik berkualitas.