Lihat ke Halaman Asli

Kenangan Masa Mengaji

Diperbarui: 3 Juni 2022   08:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dokpri

Halo temen-temen, gimana nih hari rayanya kemarin? Setelah 2 tahun terakhir di larang mudik karena adanya pandemi covid, tentu hari raya tahun ini menjadi berbeda bagi sebagian orang. Yang sebelumnya tidak dapat bejumpa dengan sanak saudara bahkan keluarga, nah tahun ini pada kemana aja nih saat hari raya?

Kemanapun kalian, apalagi yang berkesempatan pulang ke kampung halaman, jangan sampai lupa menyambungkan tali silaturahmi yang udah terputus ya. Kecuali hubunganmu sama dia yang udah putus, ga perlu disambung lagi tuh heheh. Selain berkunjung ke tetangga maupun temen, jangan lupa juga buat silahturahmi ke guru-guru, para pemberi ilmu serta ustadz dan ustadzah yang telah mengajari kalian mengenal iqro hingga dapat membaca Al-Qur'an. Dengan begitu, kalian bisa banget mengenang masa-masa ngaji kalian saat masih kecil dulu. Ngomong-ngomong soal ngaji di masa kecil, semua orang tentu punya kenangan dan pengalamannya masing-masing.

Nah sedikit cerita tentang pengalamanku, dulu aku mulai mengaji saat berusia 7 tahun di sebuah masjid yakni masjid Al-Haq yang berada di Sorong, Papua Barat. Saat itu, aku orang yang sangat pemalu dan penakut hingga takut pada laki-laki asing walaupun itu guruku sendiri. Sama halnya ketika aku baru mulai mengaji dan kebetulan guru ngaji disana adalah seorang ustadz bernama Syafrudin, orang asli Bima. Beliau ustadz yang sangat baik namun sosoknya yang berwibawa dan tegas membuatku takut dan ingin menangis setiap giliranku mengaji. Hingga pada akhirnya aku memutuskan berhenti dan melanjutkan ngajiku di rumah bersama orang tuaku.

Ketika beranjak kelas 5 SD dimana aku mulai berani dan sedikit percaya diri. Disaat itupun aku telah bisa membaca Al-Qur'an namun belum lancar dan belum memahami tajwid sama sekali. Karena sudah cukup berani, akhirnya aku kembali mengaji di Masjid Al-Haq dengan guru ngaji yang sama yakni Ustadz Syafrudin. Saat kembali, bukan perasaan takut yang ada melainkan rasa malu karena dulunya berhenti begitu saja dengan alasan ketakutan. Ustadz Syafrudin benar-benar berjasa dalam proses mengajiku. Beliau benar-benar memperhatikan setiap bacaan mengajiku hingga pada akhirnya aku paham mengenai hukum bacaan tajwid. Ketika bacaanku mulai lancar, beliau memintaku dan beberapa teman lain untuk membantu mengajar ngaji anak-anak iqro'. Dibalik sosok yang tegas, ternyata beliau juga sangat lucu dan ramah.

Ditempat mengaji itu pun aku bertemu teman-teman yang sangat baik, teman bermain semasa kecilku. Namun tidak berlangsung lama karena aku harus pindah rumah saat itu. Pada intinya, kenangan mengaji semasa kecil termasuk kenangan yang menyenangkan bagiku. Sempat menyesal, mengapa dulu aku begitu penakut hingga berhenti mengaji. Jika tidak, mungkin akan lebih banyak kenangan dimasa kecil dulu.

Nah semasa di asrama terdapat juga seorang ustadzah yang sangat berjasa yang mendampingi angkatanku selama tiga tahun. Beliau sangat sabar menyimak dan memperhatikan setoran hafalan kami. Beliau adalah ustadzah Rini yang juga terlihat tegas dan sangat taat peraturan. Namun dibalik sosok tersebut, beliau juga sangat ramah dan humoris. Beliau tidak pernah memandang bulu, ketika ada yang bersalah maka semua akan mendapat hukuman sesuai aturan yang telah berlaku. 

Waktu awal mendampingi kami beliau tengah mengandung dan sekarang Alhamdulillah sudah memiliki 2 anak yang Sholeh dan sholehah, Aamiin. Beliau juga masih terlihat seumuran ketika berada diantara kami. Bagiku, ustadzah Rini adalah sosok wanita yang kuat, sabar dan sangat patut dijadikan panutan. Saat anak pertama beliau telah lahir, suami ustadzah Rini tengah bekerja di luar kota sehingga beliau mengurus anak pertamanya sendiri sekaligus mendampingi kami dengan penuh tanggung jawab. 

Selain menjadi ustadzah, beliau juga menjadi guru Sejarah kebudayaan Islam saat itu. Banyak nasihat-nasihat beliau sebelum kami keluar dari asrama agar sebaiknya kami sebagai perempuan terus melanjutkan pendidikan kami. Beliau juga menceritakan pengalaman yang sangat menginspirasi bagiku yakni bagaimana hingga akhirnya beliau dapat kuliah dan menjadi ustadzah kami saat itu. Banyak sekali ilmu baru yang kudapat dari beliau. Dan bagiku, metode yang beliau gunakan untuk hafalan kami sangat memudahkan kami tentunya.

Sebagai seorang penuntut ilmu hendaknya kita menyadari bahwa pengorbanan seorang guru begitu besar kepada kita. Dengan begitu, kita pun akan menyadari untuk selalu menghormati, menyayangi dan memuliakan guru. Karena dengan menghormati seseorang yang memberikan ilmunya kepada kita, maka ilmu yang diperoleh akan berkah, bermanfaat dan InsyaAllah ilmu tersebut akan terbawa seumur hidup.

Tanpa seorang guru, kita bukanlah siapa-siapa. Tidak berguru maka tidak berilmu. Miskin pengetahuan akan membuat hidup dalam kehinaan. Bahkan mungkin akan terjerumus pada jurang maksiat dan terpuruk dalam kejahatan. Maka dari itu, sesukses apapun diri kita jangan pernah melupakan jasa seorang guru. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline