Lihat ke Halaman Asli

Sesederhana Fanatisme Kedaerahan

Diperbarui: 18 Juni 2015   01:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jogja Istimewa. Sebutan untuk Kota Pelajar yang beberapa tahun terakhir ini mulai dikenal masyarakat seluruh Indonesia, mungkin. Jogja atau Yogya atau Yogyakarta. Jogja yang saya maksud disini adalah Daerah Istimewa Yogyakarta, bukan sekedar kota Yogya tapi 4 kabupaten lainnya yakni: Sleman, Bantul, Gunungkidul, dan Kulon Progo. Jogja memiliki tempat sendiri di hati saya. Setiap akan meninggalkan tempat kelahiran saya ini, saya selalu berharap dapat segera kembali. Bahkan suasana stasiun atau bandara selalu jadi momen mengharukan untuk berpisah. Mungkin karena ini tempat kelahiran saya jadi saya merasa Jogja adalah rumah saya. Saya merasa memiliki. Bahkan sebagai orang yang terlahir disini saya merasa malu kalau sampai tersesat di tempat yang sudah seharusnya saya tahu. Dan malu ketika orang lain menanyakan jalan dan saya tidak tahu.

Saya tidak tahu bagaimana ‘rasa memiliki’ orang-orang Jogja terhadap kotanya ini. Apa sekedar karena dia terlahir di Jogja ? Yang mengaku kalau orang Jogja tapi tidak tahu dan tidak bisa bahasa Jawa banyak. Tapi agak gimana walaupun alasannya klasik, tidak diajari orang tua nya bahasa Jawa. Ya jelas sekarang habis lahir langsung dicekoki bahasa Indonesia aja. Malu mungkin kalau udah gede anaknya kalau bicara ‘medok’. Padahal orang-orang Jogja tidak se’medok’ aktor/aktris FTV yang luar biasa berlebihan itu dalam menirukan orang Jawa. Hahaha. Tapi tidak masalah selama mereka tidak bisa berbahasa Jawa masih bisa ‘menjaga’ Jogja. Sesederhana itu.

Jogja yang padat. Titik-titik macet mulai bermunculan. Setelah melihat antrian BBM mengular beberapa waktu lalu saya merasa Jogja semakin padat. Mungkin karena padatnya itu orang-orang yang bertempat tinggal di Jogja menyederhanakan masalah dengan menggunakan kendaraan pribadi. Mungkin agar tidak kepanasan. Tapi suka kesel kalau melihat satu mobil isinya sopir aja seorang gitu makan jalan sedangkan pengguna jalan yang lain berderet-deret mencari celah untuk melanjutkan perjalanan. Dan akan terus begitu. Seperti hasil penelitian tugas akhir saya beberapa waktu lalu saya mendapat data dari artikel KR Senin, 23 September 2013 sebagai berikut:

“Jumlah kendaraan bermotor berplat AB di DIY pada tahun 2010 mencapai 1,15 juta kendaraan, pada tahun 2011 tercatat 1,27 juta kendaraan, kemudian naik menjadi 1,43 juta kendaraan. Sedangkan untuk tahun 2013 ini diperkirakan jumlah kendaraan bermotor di DIY bakal mencapai lebih dari 1,6 juta kendaraan. Perbandingan jumlah kendaraan bermotor setiap tahunnya mobil 15 persen sedangkan motor sebesar 85 persen dari jumlah total kendaraan setiap tahunnya”

Itulah. Transportasi umum di Jogja semakin punah. Bus Trans Jogja tidak menjangkau semua wilayah. Bus antarkota makin jarang. Rendahnya kesadaran untuk berhemat energi kian mengkhawatirkan, bukan ? Masyarakat Jogja lebih menyederhanakan masalah dengan menggunakan kendaraan pribadi yang tanpa kami sadari akan menjadi bom atom bagi kami sendiri. Macet. Seperti di ibukota, Jakarta.

Sebagai masyarakat Jogja pasti mengenal kegiatan Jogja Last Friday Night (JLFR) yang diadakan tiap hari Jumat dalam minggu terakhir bulan. Ironisnya, tak jarang event ini menimbulkan reaksi pengguna kendaraan bermotor. Menuhin jalan lah bikin macet lah. Padahal justru kegiatan tersebut bisa menjadi sarana mengkampanyekan hemat energi.

Padatnya Jogja juga tidak hanya dari sisi pengguna jalan. Pengguna lahan juga semakin padat. Terutama pembangunan hotel dan mall. Ironis juga kalau mengistimewakan Jogja tapi pemerintahannya sendiri kurang bijak dan kurang mengerti keadaan wilayahnya. Mereka dengan mudah memberikan ijin pendirian hotel dan mall yang membuat ruang hijau Jogja makin sempit. Apa hanya karena ingin untungnya saja ?

Melihat itu mungkin kami bahkan pemerintah disini masih mengistimewakan Jogja dengan sederhana. Sekedar karena tempat lahir kami.

Baru-baru ini ada kasus mbak Florence yang menghebohkan masyarakat Jogja sampai-sampai dilaporkan ke pihak berwajib. Benarkah sebegitu ekstremnya ‘rasa memiliki’ masyarakat Jogja terhadap kotanya ? Sempat saya merasa kasus ini berlebihan kalau hanya karena fanatisme kedaerahan semata. Mungkin saat itu mbak yang bersangkutan sedang lelah. Seperti kita kalau sedang lelah mungkin diantara kita pernah mengumpat di sosial media bahkan mengata-ngatai seseorang atau instansi manapun karena saking jengkelnya. Wajar menurut saya. Saya pun pernah melakukan hal yang demikian meskipun saya tidak menggunakan kalimat untuk mengumpat. Saya lebih sering menyampaikannya dalam kalimat panjang seperti artikel setidaknya agar orang lebih mudah memahami apa yang akan saya sampaikan. Tapi sialnya mbak yang bersangkutan sedang ada di publik mayoritas masyarakat Jogja yang sangat sensitif terhadap nilai-nilai keistimewaan Jogja. Saya menyebutnya termasuk ke fanatisme kedaerahan. Entahlah mungkin karena kami sesama dilahirkan disini. Bukan karena sepenuhnya kami mengerti betul tentang keistimewaan kota Jogja. Atau mungkin ada yang mengerti betul tapi itu bukan saya. Kenapa saya merasa merasa sakit hati dengan pernyataan mbak yang bersangkutan atau siapapun yang mengusik Jogja adalah karena saya merasa memiliki dan merupakan bagian dari tempat kelahiran saya ini. Itulah pemikiran sederhana saya tentang istimewanya Jogja.

Saya berpikir pak Ridwan Kamil juga merasa seperti itu terhadap kota Bandung ketika menanggapi pernyataan akun twitter @kemalsept terhadap kota Bandung. Tentu masyarakat Kota Bandung akan merasakan hal yang sama seperti yang dirasakan masyarakat Jogja. Bagaimana dengan masyarakat Surabaya, Medan, Makassar, atau kota-kota lainnya ? Tentunya wajar kan ? Karena kita sama-sama masih punya rasa memiliki terhadap tempat kelahiran kita.

Pada akhirnya saya berpikir ulang untuk menanggapi kasus-kasus tersebut dan aneh ketika melihat orang lain menganggap reaksi fanatisme kami terhadap kota kelahiran kami terlalu berlebihan. Bahkan saya merasa sakit hati ketika melihat ada kalimat “Jogja lebay”. Meskipun saya juga setuju upaya penahanan mbak Florence yang dilakukan oleh Polda DIY itu kurang tepat. Setidaknya kalau ada itikad baik dari yang bersangkutan akan lebih indah kalau bisa diselesaikan secara damai. Bersyukurnya hari ini ketika membaca surat kabar ada berita tentang kunjungan yang bersangkutan kepada Sultan HB X yang mewakili masyarakat Jogja untuk memperjelas duduk permasalahan dari kasus tersebut.

Sebagai orang Indonesia akhirnya harus kita ingat lagi peribahasa “Dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung.” dimana kita berada disitu kita juga harus menyesuaikan dengan adat-istiadat yang ada. Indonesia yang terdiri dari beragam suku dan budaya tentu sulit untuk mengaturnya. Tiap-tiap manusianya harus mempunyai rasa saling menghormati dan menghargai untuk bisa beradaptasi dengan wilayah yang ia tempati. Fanatisme kedaerahan seharusnya juga disertai ‘rasa memiliki’ yang bertanggungjawab. Bukan hanya sekedar tempat kelahiran tetapi juga ada rasa untuk menjaga dan mengembangkan daerah kita sendiri agar aman dan nyaman untuk siapapun yang mengunjunginya.

Dan untuk Jogja, saya selalu menyukai tiap perjalanan pulang tengah malam saya melintasi Jogja karena kelihatan Jogja yang sepi, banyak bangunan tua, dan lampu kota. Jogja banget. Tidak seperti di siang hari yang mulai ruwet dengan segala aktivitasnya. Jogja yang padat pada akhirnya adalah akibat dari rendahnya kesadaran kami untuk menjaga Jogja.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline