Lihat ke Halaman Asli

Kasus Hukum dan Analisis Filsafat Hukum Positivisme

Diperbarui: 3 Oktober 2024   10:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Putri Deswita Maharani-222111208-HES 5F

Kasus: Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 50/PUU-XVII/2019 tentang Pengujian Uji Materiil Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan

Analisis menggunakan Filsafat Hukum Positivisme: Dalam putusan tersebut, Mahkamah Konstitusi menolak permohonan uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Keputusan ini mencerminkan bahwa Mahkamah Konstitusi menerapkan teori hierarki hukum dari Hans Kelsen, yang menyatakan bahwa setiap aturan hukum harus tunduk pada aturan yang lebih tinggi di atasnya. Dalam kasus ini, Mahkamah menegaskan bahwa Undang-Undang Dasar 1945, sebagai sumber hukum tertinggi di Indonesia, memiliki kedudukan dan kekuatan hukum yang lebih besar daripada Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Oleh karena itu, setiap aturan yang bertentangan dengan UUD 1945 tidak dapat dipertahankan.

Dari perspektif filsafat hukum positivisme: Hukum merupakan fakta sosial yang keberadaannya bergantung pada penerimaan oleh mayoritas, baik oleh masyarakat maupun otoritas hukum. Dalam konteks ini, mayoritas otoritas hukum di Indonesia menerima dan mengakui konsep hierarki hukum. Oleh karena itu, putusan Mahkamah Konstitusi yang didasarkan pada prinsip hierarki hukum dianggap sah dan berlaku sebagai hukum yang mengikat. Penerimaan ini menunjukkan bahwa otoritas hukum memainkan peran penting dalam melegitimasi hukum di mata masyarakat.

Mazhab Hukum Positivisme: Mazhab hukum positivisme yang relevan dengan kasus ini adalah mazhab hukum positivisme normatif yang dirumuskan oleh Hans Kelsen. Positivisme normatif menitikberatkan pada analisis struktur hukum yang formal dan menempatkan hukum sebagai sistem norma yang hierarkis, tanpa mempertimbangkan nilai-nilai moral atau etika. Fokus utamanya adalah pada legalitas, bukan pada keadilan substansial atau konsekuensi sosial.

Argumen tentang Mazhab Hukum Positivisme: Meskipun mazhab hukum positivisme memiliki keunggulan dalam menciptakan kepastian dan kejelasan dalam penerapan hukum, pendekatan ini juga memiliki keterbatasan. Salah satu kritik utamanya adalah kecenderungan formalistiknya, yang mengabaikan konteks sosial, budaya, dan dampak kemanusiaan dari putusan hukum. Dalam kasus ini, Mahkamah Konstitusi hanya menitikberatkan pada kepatuhan terhadap struktur formal hierarki hukum, tanpa mempertimbangkan implikasi sosial dari putusan yang diambil.

Namun, saya berpendapat bahwa mazhab hukum positivisme tidak sepenuhnya keliru. Sebagai alat analisis, pendekatan ini efektif dalam memahami struktur hukum dan mengidentifikasi konflik hukum yang terjadi di antara norma-norma yang berbeda. Selain itu, pendekatan ini juga berperan penting dalam memastikan kepastian hukum, yang pada gilirannya dapat memperkuat kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum. Dengan adanya kepastian, masyarakat tahu aturan mana yang berlaku dan apa yang diharapkan dari mereka di bawah hukum, sehingga memperkuat stabilitas hukum di masyarakat.

Sebagai kesimpulan, putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 50/PUU-XVII/2019 terkait Pengujian Uji Materiil Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan mencerminkan penerapan konsep hierarki hukum Kelsen dalam sistem hukum Indonesia. Meskipun demikian, mazhab hukum positivisme, seperti yang dianut oleh Kelsen, memiliki kelemahan, terutama dalam hal pendekatan formalistik yang mengabaikan aspek sosial dan budaya. Oleh karena itu, pendekatan ini perlu diimbangi dengan perspektif lain yang lebih memperhatikan dampak sosial dan konteks budaya, agar hukum tidak hanya menjamin kepastian, tetapi juga mencerminkan keadilan substantif.

#uinsaidsurakarta2024 #muhammadjulijanto #prodihesfasyauinsaidsurakarta2024

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline