Lihat ke Halaman Asli

Pesisir, antara Energi, Lingkungan, dan Penghidupan Masyarakat

Diperbarui: 14 Juni 2024   14:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kawasan penggusuran pemukiman dan perubahan fungsi kawasan PLTU Suralaya (Googe Earth)

Sejak awal perencanaannya, isu ekspansi sekaligus pembangunan tahap V PLTU Suralaya telah menghadirkan berbagai kritik dan opini dari sejumlah pihak. Pembangunan unit 9 dan 10 yang mulai dibangun sejak tahun 2020 silam tersebut dikatakan tidak beralasan karena pasokan dan permintaan listrik untuk Jawa-Bali dianggap sudah jauh tercukupi. Selain itu, ekspansi yang dilakukan justru hanya akan memporak-porandakan kehidupan masyarakat setempat sebagai kelompok yang paling terdampak. 

Mengapa? Sejauh ini, pembangunan tersebut telah melibatkan proses penggusuran secara tidak layak, penghancuran kawasan pantai, serta peningkatan emisi karbon yang berdampak signifikan terhadap kondisi sosial-budaya masyarakat dan perubahan iklim. Terlebih lagi dengan fakta bahwa PLTU Suralaya memang merupakan salah satu PLTU terbesar di Indonesia.

Penggusuran Lahan

Kelompok masyarakat yang paling terdampak adalah mereka yang bermukim di dekat kawasan PLTU, yakni masyarakat sekitar Pantai Kelapa Tujuh. Lahan tersebut dimaksudkan sebagai kawasan perluasan PLTU, tempat unit 9 dan 10 dibangun dan dioperasikan. Ironisnya, sebagian besar masyarakat di sana merupakan pegawai PLTU Suralaya sendiri yang ditawarkan untuk membeli tanah dan rumah di sana, jauh sebelum adanya rencana perluasan kawasan. Masyarakat dikecewakan terkait harga lahan yang dirasa kurang layak untuk dikatakan sebagai kompensasi penggusuran yang dilakukan. Hal tersebut dikarenakan jumlah yang diberikan tidak mencukupi untuk membangun kehidupan yang setara dengan kondisi sebelumnya.

Penghancuran Kawasan Pantai

Meskipun tidak besar, Pantai Kelapa Tujuh sebelumnya memang cukup ramai dikunjungi oleh wisatawan lokal sebagai tempat rekreasi sehingga terdapat sejumlah masyarakat yang mencari penghidupan dari sektor bisnis dan pariwisata. Kini, mereka kehilangan sumber mata pencaharian mereka akibat alih fungsi kawasan pantai yang telah sepenuhnya hilang untuk sektor selain industri sehingga kemudian terpaksa harus mencari sumber pencaharian baru, baik melalui adaptasi ataupun migrasi ke kawasan pantai lain yang mampu mengakomodasi kemampuan serta keterampilan mereka.

Peningkatan Emisi Karbon

Pembangunan PLTU yang dilakukan juga turut memunculkan pengaduan dari masyarakat akibat berbagai dampak buruk yang selama ini dihasilkan. Dampak tersebut tidak hanya mengganggu kestabilan lingkungan saja, namun juga kesehatan masyarakat, khususnya masalah kesehatan organ pernapasan. Pengoperasian PLTU baru tersebut bila dilakukan selama 30 tahun juga diperkirakan dapat menyebabkan ribuan kematian dini akibat limbah karbon dioksida yang terbuang ke atmosfer.

Terlepas dari segala permasalahan yang ada, pihak pengelola PLTU Suralaya terus berupaya untuk mengedepankan aspek keselamatan dan lingkungan melalui berbagai Program CSR (Corporate Social Responsibility) seperti efisiensi penghematan energi, penanaman 1000 pohon, serta pendirian Eco Park Suralaya yang dibangun dengan memanfaatkan limbah pembakaran PLTU. 

Meskipun dengan berbagai upaya yang telah dilakukan untuk menekan dampak yang terjadi, pemerintah tetap perlu untuk lebih memprioritaskan peralihan pada energi berbasis sumber daya terbarukan dibandingkan ‘menambah’ pasokan cadangan energi yang menggunakan sumber daya non terbarukan seperti batu bara. Bila hal tersebut belum memungkinkan saat ini, inovasi teknologi pemrosesan limbah PLTU dapat ditekankan sebagai upaya mengurangi emisi, meskipun tentu tetap akan memunculkan berbagai permasalahan lain di tempat dihasilkannya batu bara.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline