Lihat ke Halaman Asli

Persaingan dalam Transportasi Umum dan Akibatnya

Diperbarui: 30 Maret 2016   10:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gaya Hidup. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Pada tanggal 22 Maret 2016 lalu, Jakarta sebagai Ibu Kota Republik Indonesia di hebohkan dengan adanya unjuk rasa yang di lakukan oleh para supir taksi yang berujung anarkis. Mereka menginginkan pemerintah untuk berlaku adil dalam hal pemenuhan aturan perundang udangan khususnya mengenai transportasi umum. Mereka menganggap model transportasi umum yang menggunakan aplikasi online seperti Gojek, Grab Bike, Grab Car dan Uber tidak mengikuti aturan yang berlaku, sehingga terlepas dari berbagai kewajiban sebagaimana angkutan umum resmi. Menurutnya, ini menimbulkan persaingan yang tidak sehat atau tidak berimbang, yang berakibat penghasilan mereka menurun drastis. Sebagai contoh, besarnya tarif angkutan berbasis online tidak berpedoman kepada aturan yang telah ditentukan pemerintah atau Organda (Organisasi Angkutan Darat), melainkan menetapkannya sendiri. Selain itu pula, usaha angkutan online tidak berbadan hukum yang secara otomatis tidak memiliki ijin usaha sehingga lolos dari kewajiban membayar pajak, dan lain lain sebagaimana ketentuan yang berlaku bagi perusahaan angkutan umum.

Seperti kita ketahui bahwa usaha transpartasi Uber yang berbasis online di luar negeri telah menuai kesuksesan luar biasa, oleh karenanya model seperti itu coba diaplikasikan di negeri ini oleh beberapa fihak yang kreatif sekaligus memiliki naluri bisnis transportasi. Dan ternyata sambutan masyarakat sangat positif karena menawarkan berbagai kemudahan, kenyamanan, keamanan, disamping memang tarifnya juga relatif lebih murah serta fleksibel jika dibandingkan dengan moda transportasi umum konvensional, seperti taksi resmi.

Permasalahan tersebut diatas, nampaknya menjadi salah satu factor kecemburuan dari fihak yang merasa dirugikan, dalam hal ini usaha trnsportasi konvensional yang sudah lebih dahalu beroperasi di DKI. Puncaknya, mereka menggelar demontrasi atau unjuk rasa besar besaran menuntut kepada pemerintah untuk membekukan sistem online yang di aplikasikan dalam usaha angkutan umum. Akibat dari demontrasi tersebut banyak aktifitas masyarakat yang terganggu. transportasi umum menjadi tidak jalan, banyak alat angkutan umu lainnya yang enggan beroperasi karena ketakutan di razia oleh para pendemo yang juga bertindak anarki atau pengrusakan.

"Dengan adanya transportasi online masyarakat sebagai konsumen merasa sangat di untungkan, karenakan tersedia kemudahan untuk memesan layanan semacam itu" (Putra, 2016). "Sudah sebanyak 54 juta atau sekitar 21 % Warga Negara Indonesia pada tahun 2015 aktif sebagai pengguna mobile Internet." (Tech in Asia).

Semakin banyaknya konsumen yang memilki smartphone ditambah koneksi internet yang cukup baik, maka masyarakat terutama yang berdomisili di kota kota besar dengan sangat mudah memesan alat angkutan umum. Istilahnya, dengan hanya memanfaatkan sentuhan jari tangan pada layar hand phone, tidak lama berselang seorang pengemudi beserta kendaraannya sudah berada dihadapan kita dan siap mengantar kemanapun tujuan kita pergi.

Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara pun mengakui keuntungan penggunaan transpoortasi online. Lebih jauh beliau mengatakan “kalau efisiensi ini dinikmati masyrakat, ya harus di carikan jalan keluarnya, dimana kewenangan regulasinya ada pada pak Jonan (Menteri Perhubungan)” (Putra, 2016).

Persaingan di dunia usaha yang tidak sehat, apalagi sampai berbuah anarkisme tentunya akan menimbulkan masalah tersendiri yang pada akhirnya baik secara langsung maupun tidak langsung akan berakibat buruk yang merugikan berbagai fihak. Di dalam kehidupan sehari hari, persaingan itu selalu saja terjadi, namun haruslas disikapi dengan bijak, bukan dengan tidakan yang tidak terpuji. Tanpa persaingan, dunia usaha tidak akan maju dan kreatif.

Kembali kemasalah demo, seharusnya para supir taksi tersebut dapat lebih bisa mengontrol emosi dirinya, berkepala dingin dan berfikir jernih. Bilamana merasa ada permasalahan, hendaknya mereka berdiskusi dengan manajemen perusahaanya guna mencari jalan keluar terbaik, dari pada bertindak sendiri. Untuk menanggulangi kasus diatas, sekiranya memungkinkan, alangkah lebih baiknya mereka meminta kepada perusahaan untuk menyediakan fasilitas aplikasi online sebagai strategi marketing baru yang lebih modern sehingga mampu meningkatkan daya saing diantara para penyedia layanan transportasi umum yang ada. Target omset harian yang cukup tinggi, rasanya layak sebagai pertimbangkan para pemilik perusahaan taksi konvensional untuk segera meninjau ulang strategi bisnisnya, beradaptasi terhadap kemajuan peradaban dan teknologi, diantaranya berinovasi dengan menerapkan aplikasi online kepada para awak kendaraannya.

Tanpa menyadari arti pentingnya berinovasi, maka akan sulit untuk memenangkan persaiangan, terlebih di era global saat ini yang menuntut serba cepat dan sempurna dalam segala hal. Dan bagi usaha transportasi berbasis online sendiri, jangan terlena dengan kemengan dalam persaingan, sudah waktunya untuk membenahi dan menyesuaikan diri dengan regulasi yang berlaku. Sebaiknya mereka segera mengurus segala perizinan sebagaimana mestinya kepada pemerintah, sehingga nantinya tidak ada masalah kecemburuan sosial diantara transportasi sistem konvensional dengan online.

Karena ini menyakut periuk nasi banyak orang, maka pemerintah sebaiknya secepat mungkin membuat kebijakan untuk menjebatani kedua kepentingan tersebut agar masalahnya tidak berlarut larut dan semakin komplek. Pemerintahpun hendaknya senantiasa mengkaji dan mengevaluasi seiap aturan main yang ada untuk disesuaikan dengan kemajuan jaman.

Terima kasih dan salam Kompasiana.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline