Lihat ke Halaman Asli

Putri Aidillah

Jurnalism Major

Disinformasi dan Polarisasi: Peran Media Sosial dalam Menggiring Opini Publik

Diperbarui: 22 Desember 2024   16:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: Freepik

Media sosial menjadi salah satu platform utama dalam penyebaran informasi yang menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari, dapat mengubah cara berinteraksi dan mengakses informasi. Disinformasi dan polarisasi di media sosial menjadi isu mendesak di era digital saat ini. Meskipun media sosial memiliki potensi untuk menjadi alat yang kuat dalam menyebarkan informasi dan memperluas pengetahuan. Platform di media sosial sering kali digunakan untuk menyebarkan informasi yang salah dengan niat tidak baik.

Dalam konteks disinformasi dan polarisasi, media sosial memiliki peran yang sangat berpengaruh. Disinformasi, diartikan sebagai informasi menyesatkan yang disebarkan dengan niat menipu, atau konten yang dirancang untuk menyebabkan kerusakan kepercayaan publik terhadap informasi, menimbulkan polarisasi dalam masyarakat yang dapat mengancam stabilitas sosial dan kepercayaan publik (Azwar et al., 2023). Sering kali melibatkan berita palsu, rumor, atau informasi yang tidak terverifikasi. Disinformasi bisa muncul dalam berbagai bentuk, mulai dari artikel berita yang seluruhnya fiktif hingga meme yang memaparkan narasi yang tidak benar.

Sedangkan polarisasi merupakan suatu kejadian di mana masyarakat terbagi menjadi dua kelompok berbeda yang saling bertentangan, yang dapat memperkuat pandangan ekstrem serta mengurangi toleransi terhadap pandangan yang berbeda (Vasist et al.,2023). Selain mempercepat penyebaran disinformasi, media sosial juga menciptakan lingkungan yang mendukung untuk polarisasi, yang memperkuat individu dalam perspektif masing-masing.

Platform seperti TikTok, Instagram, X, dan Facebook menggunakan algoritma yang dirancang untuk meningkatkan keterlibatan pengguna. Algoritma media sosial lebih banyak mengutamakan konten yang viral dan menarik perhatian, dibandingkan memprioritaskan kebenaran informasi, di mana hal tersebut menciptakan situasi disinformasi yang dapat menyebar dengan cepat dan luas. Algoritma cenderung memperkuat pandangan yang sudah ada, artinya pengguna hanya terpapar pada informasi yang sejalan dengan kepercayaan mereka. Hal tersebut dapat memperburuk polarisasi, dikarenakan pengguna tidak mendapatkan pandangan yang beragam. Disinformasi didorong oleh tiga faktor yaitu mencari keuntungan finansial, mempengaruhi politik, atau menimbulkan masalah psikologis atau sosial.

Beberapa faktor yang menyebabkan disinformasi dan polarisasi di media sosial yaitu penggunaan media sosial yang tinggi, penggunaan media alternatif, dukungan terhadap partai populis, ketidakpercayaan terhadap politisi dan media, polarisasi politik yang tinggi, dan paparan yang luas terhadap media sosial (Humprecht et al., 2021). Disinformasi yang dipaparkan oleh tokoh pemerintah dan partai politik juga berkontribusi pada polarisasi dan dan terorisme domestik. Selain itu, konten bersifat emosional dan menggiring opini lebih cenderung dibagikan, meskipun informasi tersebut tidak terpercaya. Hal tersebut dapat memperburuk polarisasi dengan menciptakan reaksi yang kuat di antara kelompok yang berbeda.

Disinformasi dapat menyebabkan penurunan produktivitas secara keseluruhan, penurunan tingkat keberhasilan investasi, serta peningkatan biaya spekulasi yang buruk. Misalnya, banyak skema investasi bodong yang menawarkan keuntungan besar dalam waktu singkat, di mana informasi tersebut yang menyesatkan dapat membuat banyak orang tertipu dan mengalami kerugian finansial. Dampak dari polarisasi yang dihasilkan dari disinformasi berpengaruh tidak hanya pada individu, namun juga pada institusi demokratis. Disinformasi yang menyebar di media sosial mengalami penurunan kepercayaan publik terhadap institusi resmi, menyebabkan ketidakstabilan politik. Misalnya, disinformasi yang sering memanfaatkan isu identitas untuk memecah belah masyarakat. Begitu juga saat terjadi demonstrasi, seringkali muncul paparan informasi yang tidak benar tentang jumlah peserta, tujuan demonstrasi, atau provokasi untuk menimbulkan kerusuhan.

Masyarakat lebih banyak menganggap disinformasi suatu hal yang biasa terjadi, yang menciptakan pandangan mereka untuk berpikir tidak merasa perlu memvalidasi terhadap informasi yang mereka terima. Menjadikan hal tersebut sebagai meningkatkan literasi media di kalangan pengguna media sosial, supaya masyarakat lebih kritis terhadap informasi yang dikonsumsi. Solusi dalam mengatasi tantangan tersebut, beberapa pendekatan yang disarankan, termasuk penggunaan teknologi untuk mengatasi dan mendeteksi disinformasi, seperti menggunakan aplikasi pembelajaran untuk memandu pengguna menghindari mis atau disinformasi (Agosto & Oltmann, 2022). Upaya pendidikan dalam meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap bahaya disinformasi. Namun, tak luput dari tantangan, termasuk dalam hal mengubah perilaku pengguna dan membangun kepercayaan kembali terhadap sumber informasi yang kredibel. Dengan memperbaiki struktur platform media sosial, di mana platform tersebut harus bertanggung jawab dalam menanggulangi disinformasi. Setiap individu juga memiliki tanggung jawab atas segala tindakan yang dilakukan untuk memverifikasi informasi sebelum membagikannya. Media sosial dapat berperan dalam memaparkan konten yang akurat dan informatif, serta mendorong diskusi yang sehat di antara pengguna.

Media sosial juga menjadi alat bagi tokoh pemerintah dan partai politik untuk menyebarkan disinformasi dan memicu polarisasi. Salah satu contoh kasus disinformasi dan polarisasi di media sosial adalah yang terjadi di tahun ini pada pemilihan presiden Indonesia 2024. Dalam debat politik yang memanas, disinformasi dengan cepat dan mudah disebarkan melalui media sosial, yang pada akhirnya menimbulkan polarisasi antara pro dan kontra. Konten yang disebarkan dapat menggiring opini pemilih, baik positif maupun negatif. Mulai dari fitnah terhadap calon lawan, hingga penyebaran berita bohong tentang kebijakan pemerintah. Hal tersebut sangat memengaruhi keputusan pemilih dengan menyebarkan informasi yang tidak benar tentang calon atau isu-isu penting lainnya yang dapat merusak reputasi calon dan memengaruhi hasil pemilihan.

Kasus lain adalah pada masa pandemi, banyaknya berita palsu tentang kesehatan. Mulai dari informasi palsu terkait vaksin, hingga klaim sembuh dari penyakit serius dengan mengonsumsi obat tradisional tertentu. Selain itu, kasus berita palsu terkait bencana alam juga marak terjadi. Seringkali, berita tentang gempa bumi atau bencana lainnya dibesar-besarkan atau bahkan direkayasa. Hal tersebut dapat menyebabkan kepanikan massal dan mengganggu upaya penyelamatan.

Penulis: Putri Aidillah (11220511000111), Mahasiswi semester 5 Program Studi Jurnalistik, Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline