Kita semua sudah mengetahui bahwa Indonesia dihadapkan permasalahan hukum, tidak lain salah satunya ialah Lapas yang Over Kapasitas. Dalam menemukan solusi ini bukan berarti negara harus membangun gedung-gedung lapas baru, dengan memperluas lapas yang ada atau mengubah politik hukum. Jika dibiarkan hal ini bahkan akan bermunculan masalah-masalah baru, seperti penyebaran penyakit, pengulangan tindak pidana dan bahkan terlalu besar sudah anggaran negara untuk hal ini.
Setidaknya ada beberapafaktor penyebab overkapasitas,antara lain meningkatnya tindakkejahatan dan sistem pemidanaan.Berdasarkan data Badan Pusat Statistik 2023 (tentang Statistik Kriminal 2023, Volume 14 Tahun 2023),jumlah kejahatan dan tingkat risiko kejahatan secara nasional meningkat dari tahun 2020 ke tahun 2022.Pada tahun 2020 jumlah kejahatansebanyak 247.218 meningkat menjadi372.965 pada tahun 2022. Tingkatrisiko kejahatan pada tahun 2020 sebesar 94 menjadi 137 tahun 2022.Selanjutnya berdasarkan data Pusat Informasi Kriminalitas Nasional(Pusiknas), total perkara pada tahun 2023 berjumlah 433.436 (pusiknas.polri.go.id, 11 November 2024).Peningkatan tindak kejahatan akanberkorelasi dengan peningkatan narapidana, karena hukuman penjaramasih menjadi hukuman utama dalam sistem peradilan pidana diIndonesia.
Asas Restorative Justice merupakan kunci dari solusi hal ini. Mengenal lebih dalam Restorative juctice ialah penyelesaian perkara tindak pidana di luar persidangan dengen melibatkan korban yang menderita akibat terjadinya tindak pidana oleh pelaku, pelaku, korban pelaku dan korban sertia pihak lain yang bersama-sama mencari penyelesaian yang adil, yang dimaksud disini bukan berarti pelaku dimaafkan begitu saja namun dengan menekankan pada rekonsiliasi dan pemulihan korban yang diharapkan korban dengan sukarela dan tanpa paksaan melakukan proses perdamaian dengan mufakat dan didampingi oleh kedua belah pihak , pihak yang bersangkutan dan penegak hukum dengan menjujung nilai keadilan.
Restorative Justice menekankan pada terwujudnya empat hal. Kesatu, meletakkan hukum pidana kembali pada khitahnya sebagai ultimum remedium (hukum pidana sebagai upaya terakhir) bukan premium remedium (hukum pidana sebagai upaya utama), jika upaya hukum lain dan mekanisme perdamaian tidak terwujud. Kedua, menekankan pada tanggung jawab pelaku tindak pidana secara langsung kepada korban atas tindak pidana yang dilakukan. Ketiga, memperhatikan kepentingan dan perlindungan korban tindak pidana. Keempat, membangun hubungan yang harmonis kembali antara korban dan pelaku tindak pidana.
Sehingga upaya dari hulu sampai hilirterkait dengan penanganan masalahoverkapasitas harus dilakukansecara integratif dan komprehensif. Yaitu yang pertama, diawali dengan menekan angka tindak kejahatan. Kedua, melakukan restorative justice, dan ketiga pilihan pemidanaan yang tidak harus menjatuhkan pidana penjara.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI