PUTRI AGENG ANJANI, S.H
1322300015
Masyarakat terus berkembang dan dinamis sehingga aturan-aturan harus diperbarui, diperbaiki dan diciptakan dengan tujuan agar mengikuti perkembangan yang dinamis tersebut, atau adanya budaya yang hidup di masyarakat yang sudah lama ada namun belum disahkan di hukum tertulis.
Salah satu upaya dari reformasi hukum pidana di Indonesia adalah delik santet di Pasal 252 KUHP, yang dalam ketentuan lama (KUHP lama) kriminalisasi perbuatan santet terdapat pada Pasal 545 hingga Pasal 547. Dalam KUHP baru sendiri terdapat istilah universal yaitu "santet" diperluas lagi dengan "kekuatan gaib" dengan tujuan istilah tersebut agar penerapan Pasal tidak hanya santet saja namun lebih luas lagi, seperti gendam, hipnotis dan lain sebagai nya.
Perbuatan santet sendiri tidak diatur karena akan bertentangan dengan Pasal 1 ayat 1 KUHP yaitu asas nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali, yang mensyaratkan adanya tindak pidana apabila tindak pidana itu diatur dalam KUHP dan akan menimbulkan sikap main hakim sendiri dalam masyarakat yang apabila dipandang dalam kacamata prinsip hukum, sikap main sendiri tidak dibenarkan dalam alasan apapun.
Tolak ukur keberhasilan suatu aturan sangat dipengaruhi oleh penerapan aturan itu sendiri. Sejauh mana penerapan itu dapat memuaskan para pencari keadilan dan begitu juga penerapan bagi pelaku pelaku dalam rangka keberhasilan proses peradilan pidana mulai dari tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan hingga tahap pemeriksaan di pengadilan. Pada tahapan ini perlu adanya pembuktian khususnya pada saat pemeriksaan di pengadilan. Mengingat dalam setiap proses peradilan pidana selalu diperlukan alat bukti pendukung, agar putusan pengadilan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.
Berbagai istilah yang digunakan untuk santet pada hakikatnya masih bersifat mistis dan jauh melampaui logika hukum, namun pembaharuan hukum telah dilakukan melalui beberapa proses legislasi. Tingkatan selanjutnya menyangkut penerapan Pasal baru 252 KUHP yang mengatur tentang penawaran jasa dalam penggunaan kekuatan ghoib yang dalam Pasal 252 KUHP baru ayat 1 yang memuat tentang apabila terdapat seseorang yang menyatakan dirinya mempunyai, memberitahukan, memberikan harapan, menawarkan, atau memberikan bantuan jasa kepada orang lain yang berkaitan dengan kekuatan gaib lalu apabila perbuatan seseorang tersebut dapat menimbulkan penyakit, kematian, atau penderitaan mental atau fisik seseorang maka akan dijatuhi hukuman. Dan dalam 252 KUHP ayat 2 apabila orang tersebut melakukan hal tersebut sesuai dalam Pasal 252 ayat 1 yang digunakan untuk mata pencaharian atau kebiasaan maka hukuman ditambah 1/3.
Pada Pasal 252 KUHP baru mempertimbangkan bahwa masyarakat Indonesia masih sangat banyak yang mempercayai keberadaan hal-hal mistis, disisi lain ada banyak pula masyarakat yang tidak mempercayai hal-hal mistis dan menganggap rekayasa sehingga dapat menimbulkan main hakim sendiri yang berujung pada penganiyayan hingga kematian oleh masyarakat dengan dalih yang berkenaan dengan sihir.
Hal inilah yang membuat penulis merasa perlu terhadap pembaharuan hukum pidana yang berkaitan dengan kebijakan kriminalisasi tindak pidana santet dalam pembuktiannya yang dapat mudah digunakan pada tingkat penyelidikan hingga proses pemeriksaan di Pengadilan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H