Lihat ke Halaman Asli

Putri Adi Setyaningrum

Universitas Nasional

Idul Fitri di Tengah Pandemi Covid-19

Diperbarui: 20 Juni 2022   22:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Genap satu bulan umat Islam di Indonesia menunaikan ibadah puasa Ramadan, menahan rasa lapar, dan dahaga. Bahkan, karena posisinya di tengah pandemi Covid-19, umat Islam juga harus menahan diri untuk tidak banyak beraktivitas dan beribadah di luar rumah. Semua terjadi dalam suasana penuh keterbatasan. Kini, Idul Fitri segera tiba. Miliaran umat Islam sedunia merayakan hari istimewa tersebut dengan cara berbeda. Sukacita yang terpancar diselimuti keprihatinan dan kewaspadaan terhadap ancaman penularan Covid-19. Masjid dan lapangan tidak banyak dipakai untuk melaksanakan salat Ied.

Boleh jadi, jumlah peserta takbiran di masjid dan mushola kalah oleh jumlah ribuan tenaga medis dan pasien Covid-19 yang sedang berada di rumah sakit maupun ruang isolasi. Meski begitu, Idul Fitri harus tetap kita sambut dan rayakan dengan penuh kegembiraan dan kebahagiaan. Karena apa pun kondisinya, Idul Fitri adalah momen kelulusan seorang hamba setelah melakoni puasa sebulan penuh, wajar disambut dengan kemeriahan.

Dalam konteks tradisi masyarakat Indonesia, Idul Fitri merupakan hari yang sangat penting. Tak heran jika mudik ke kampung halaman menjadi euforia tersendiri. Tidak hanya itu, berbagai pakaian baru serta beraneka ragam makanan dan minuman mulai dipersiapkan. Hampir 2 tahun kita melewati momen Hari Raya di masa pandemi Covid-19 dan akhirnya tahun ini Pemerintah memberikan kesempatan bagi masyarakat Indonesia untuk mudik ke kampung halaman dengan tetap memperhatikan protokol kesehatan. Kita bisa lihat fenomena mudik yang disiarkan di TV, radio, maupun sosial media sungguhlah disambut dengan meriah karena terlihat di beberapa jalur terjadi banyak kemacetan hingga saat ini. Perayaan Idul Fitri memang tidak bisa dipisahkan dengan budaya mudik, seakan belum merayakan Idul Fitri kalau belum mudik ke kampung halaman. Persepsi tentang kewajiban mudik saat Lebaran inilah yang membuat pemerintah di era pandemi ini menjadi kelabakan.

Tentu, Idul Fitri (kembali ke kesejatian) sangat berbeda dengan Idul Qoryah (kembali ke kampung halaman), baik secara harfiah maupun maknawiyahnya. Akan tetapi, yang terasa setiap menjelang Hari Raya Idul Fitri tiba, umat Islam di Indonesia selalu sibuk bagaimana bisa mudik dan berkumpul dengan keluarga, dan bagi saya tidak salah, hanya kondisi pada saat ini perlu adanya pemahaman komprehensif tentang substansi Idul Fitri itu sendiri. Idul Fitri memiliki makna yang berkaitan erat dengan tujuan yang akan dicapai dari kewajiban berpuasa itu sendiri, yaitu manusia yang bertakwa. Konsep Idul Fitri (kembali ke kesejatian) juga berkaitan erat dengan self-controlling (menahan diri) dari perbuatan yang tercela dan merugikan orang lain, termasuk memaksakan diri untuk mudik, padahal sudah tahu dampaknya sangat membahayakan keluarga dan kerabat di kampung halamannya.

Jika kita hubungkan fenomena ini dengan realitas teologis, saya kira pikiran kita tidak cukup hanya menyalahkan pandemi Corona. Mau tidak mau kita harus bertanya pada diri sendiri. Apakah ada gerangan kesalahan-kesalahan kita selama ini. Sebagai manusia beriman, atau masyarakat beragama kita memang harus selalu mengintrospeksi diri. Atau dalam suatu rumus sederhananya kita selalu memulai bertanya. Bisa jadi bencana pandemi ini adalah bentuk teguran Tuhan terhadap kita.

Bila merunut terbengkalainya tradisi ritual di atas, sepertinya nasihat salah satu ustad yang tidak disebutkan namanya tetapi viral di lini masa, dapat menjadi pengingat bagi kita. Di dalam sebuah video berdurasi 2 menit 54 detik, seorang penceramah di kelilingi para santrinya memberikan nasihat kepada kita yang sungguh luar biasa, yang jika direnungi, hati kita akan bergetar karena dalamnya nasihatnya.

Petuahnya kurang lebih berbunyi seperti ini; “Jangan salahkan corona jika masjid ditutup atau digembokkan. Bermuhasabahlah kita. Mungkin karena sudah teramat sering kita dipanggil- panggil adzan tapi kita tidak mau jamahaan dengan berbagai alasan keduniawian. Jangan salahkan corona jika jumatan ditiadakan. Bermuhasabalah kita. Mungkin karena setiap hadir jumatan kita hanya ketiduran dan ketiduran, nasehat khutbah diabaikan.”

“Jangan salahkan corona jika pengajian-pengajian ditiadakan. Bermuhasabahlah kita. Mungkin karena ustadz-ustadznya sudah banyak yang mengkomersialisasikan pengajian, dan hidup glamor bak artis biduan, juga jamaahnya hanya untuk foto-fotoan. Jangan salahkan corona jika puasa tahun ini tidak ada jamaah tarawihan. Bermuhasabahlah kita. Mungkin karena kebanyakan dari kita tarawihnya hanyat ikut-ikutan. Buktinya tanggal 20 ke atas, banyak dari kita pula yang ikut-ikutan berhenti tarawihan.”

“Jangan salahkan corona jika lebaran tahun ini tiada mudik dan silaturrahiman. Bermuhasabahlah kita. Mungkin karena kebanyakan dari kita mudik hanya pamer harta dan 

kesuseksesan. Jangan salahkan corona jika tahun ini tidak ada shalat sunnah idhul fitri jemaahan, karena kita hadirnya hanya untuk memamerkan pakaian. Jangan salahkan corona jika Masjidil Haram ditutup dari ritual keagamaan. Bermuhasabahlah kita. Mungkin karena kebanyakan di sana kita hanya selfian, bukan fokus ibadah Haji dan Umrohan.

"Jangan salahkan corona jika tahun ini tidak ada ibadah hajian. Bermuhasabahlah kita. Mungkin karena kebanyakan kita sekarang Hajinya hanya cari status dan gelar panggilan. Dari pada benar- benar ingin ibadah menunaikan rukun Islam. Semoga dengan makhluk yang bernama corona yang Allah datangkan menjadi hikmah bagi kita semua untuk sadar.”

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline