Lihat ke Halaman Asli

Menilik Pendidikan di Lapas Anak, Tiada Aral Menjemput Mimpi

Diperbarui: 4 April 2017   17:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bulutangkis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Vladislav Vasnetsov

Mimpi itu tak terbelenggu jeruji besi. Mungkin jalan panjang yang mereka tempuh pernah hitam, namun masa depan yang cerah juga berhak menjadi milik mereka.

Pagi belum lagi beranjak, jarum jam baru menunjukkan pukul 10.00 WIB. Hari itu, Jumat (8/4) ratusan pemuda tanggung tanpa baju dan bercelana pendek jongkok berbaris rapi di lapangan yang tak terlalu hijau. Seorang petugas memegang tongkat pemukul sementara di depannya dua orang pemuda sedang dihukum push up. Melewati jalan setapak di pinggir lapangan, berpuluh pasang mata menatap sinis namun penuh tanda tanya. Bau keringat dan makanan sisa bercampur menjadi satu. Suara mereka riuh rendah tidak karuan, beberapa sibuk menampung air dalam ember-ember putih bekas cat. Beginilah mereka, narapidana (napi) anak berusia di bawah 20 tahun yang berada di Lembaga Permasyarakatan (lapas) Anak Klas II, Tanjung Gusta. Setiap harinya, mereka mengadakan apel pagi sekaligus senam sebelum melakukan kegiatan masing-masing.

Adalah Irwanto yang akrab dipanggil Anto, pemuda bermata cipit yang baru saja mengikuti apel pagi tersebut. Anto baru duduk di kelas 2 SMP di dalam lapas. Ia memutuskan untuk sekolah walaupun usianya sudah menginjak 20 tahun. Disini, setiap orang boleh memilih untuk bersekolah atau tidak. Anto sendiri ingin bersekolah karena kebosanan kerap menghampirinya. Di lain sisi, ia juga ingin menyambung pendidikannya yang sempat terputus di bangku SMP. Anto yang suka membaca ini menceritakan proses belajar mereka. Sekitar pukul 9 pagi semua napi yang bersekolah masuk ke kelas. Tidak akan ada seragam putih biru yang kita temukan, karena para napi bersekolah dengan baju biasa. Bahkan beberapa dari mereka tidak berbaju. Anto bersekolah dengan 12 orang teman lainnya, biasanya mereka belajar di perpustakaan Lapas. Lalu, ketua kelas akan membagikan satu buah tas yang berisikan paket buku pelajaran dan alat tulis.

Cerita-cerita lucu kerap mewarnai proses belajar mereka. Seperti yang dikisahkan Anto, terkadang beberapa temannya suka tidak pakai baju dan ada juga yang tidak mandi. Sehingga pengajar sering tidak tahan. Belum lagi yang tidur dan bermain-main di kelas membuat para pengajar angkat tangan. Hal yang paling menyenangkan adalah ketika mereka dibagikan alat tulis seperti pulpen, pensil dan buku tulis. Biasanya mereka menyembunyikannya untuk dibawa ke kamar. "Kalau enggak ada kerjaan di kamar kami cuma bisa nulis-nulis aja. Curhat-curhat gitu kan, terus buat-buat cerpen juga," ujarnya.

Sekitar pukul 11 sekolah berakhir, sebab pukul 12 mereka harus masuk kembali dimasukkan ke dalam blok tahanan atau yang biasa mereka sebut dikereng. Anto yang seorang Kristiani juga mendapatkan pendidikan Rohani seperti sekolah al-kitab. Setiap hari Minggu, mereka pergi ke gereja yang berada di dalam lapas untuk mendengarkan khotbah dari pendeta. Sesekali mereka dibawa keluar lapas untuk mengikuti hari-hari besar keagamaan dengan para pelajar lainnya.

Anto yang dulunya bercita-cita menjadi tentara ini memiliki ketertarikan pada Bahasa Inggris dan komputer. Selain itu ia juga aktif bermain band sebagai penabuh drum. Namun ia belum memiliki impian ingin menjadi apa nantinya. "Yang penting ada kemampuan aja lah, biar bisa kerja kalau udah bebas nanti. Anto udah puas kok kayak gini," ujarnya sambil menatap ke arah langit-langit ruangan. Kini ia sedang menanti kebebasannya yang tinggal setahun lagi karena tersangkut kasus curanmor.

Lain lagi dengan Riduan Akiran atau Kiran. Pemuda keturunan India ini berusia 20 tahun ini pernah bercita-cita menjadi dokter. Menurutnya isi tubuh manusia itu misterius, sehingga ia ingin mengetahui anatomi tubuh manusia. Kiran yang kini duduk di kelas 3 SMP tengah mempersiapkan diri untuk mengikuti Ujian Nasional Paket B. Tidak seperti siswa tingkat akhir kebanyakan, Kiran sama sekali tidak menerima pelajaran tambahan ataupun bimbingan belajar. Mereka tetap masuk sekolah seperti biasa hanya saja staf pengajar banyak memberikan gambaran soal ujian. Ia sebenarnya tidak puas jika hanya mengikuti ujian paket B saja. "Sebenarnya sedih, aku pengen ikut ujian nasional biar resmi. Biar kayak orang-orang lain juga. Tapi gimanalah, guru bilang ikut ujian paket ya ikut aja lah," ujar pemuda yang divonis 12 tahun penjara karena kasus pembunuhan ini. Kiran yang beragama Islam juga memperoleh pendidikan keagamaan seperti membaca Al-Qur'an dan ceramah dari ustadz setiap Jumat paginya. Kegiatan kerohanian seperti inilah yang membuat Kiran merasa jauh lebih tenang dan menyesali perbuatannya. "Sekarang aku nyesal udah pernah buat salah itu, nggak mau lagi lah ngulanginnya."

Tetap Berkarya Meski Terpenjara

Hidup terkurung di dalam lapas tidak lantas membuat para napi anak ini pasif. Keterampilan yang mereka peroleh membuat mereka mampu berprestasi. Berbagai penghargaan dan juara telah mereka sabet. Diantaranya juara I film dokumenter terbaik pada Festival Film Anak pada tahun 2009. Film yang berjudul "Mencuri Dari Lapas" dan berdurasi 15 menit ini menceritakan bagaimana mereka mencuri ilmu dari lapas. Bersamaan dengan itu, mereka juga menyabet gelar sutradara terbaik dan kategori ide cerita terbaik. Prestasi lain yang pernah ditorehkan napi lapas ini adalah juara III duta remaja di Kota Medan.

Mas'ut S.Pd, M.Si selaku Kasubsibimkemaswat lapas anak mengaku bangga dengan prestasi yang ditorehkan oleh anak-anak didiknya tersebut. "Dengan berlabelkan sebagai narapidana tak mengurungkan niat mereka untuk berprestasi dengan fasilitas seadanya yang ada di lapas," ucap pria gagah bertubuh tinggi ini bangga.

Begitupun dengan Helman Batubara. Ia adalah kepala Sub Seksi Bimbingan kerja di lapas ini. Memasuki sebuah ruangan berbentuk segilima yang dipenuhi dengan berbagai peralatan bertukang dan alat-alat lukis. Ia lalu memandu kami untuk melihat-lihat beberapa hasil karya napi. Diantaranya, meja hias yang masih setengah jadi dan meja osin (meja ukir berbentuk bulat). "Memang ini hanya untuk pelatihan keterampilan anak-anak disini saja. Hasil-hasil furniture ini dapat digunakan untuk kebutuhan lapas, seperti meja kerja, kursi dan lemari," ucap Helman menjelaskan. Tak hanya itu, Helman menjelaskan di lapas juga ada di fasilitas pelatihan pangkas rambut, montir, menjahit, mengelas, pembuatan kaligrafi dan pelatihan kiat-kiat pertanian.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline