Siang itu,ditengah hiruk pikuk kota Jakarta sembari menahan kantuk, ia membalik badan perlahan, tampak wajahnya sudah basah dengan keringat. Mata sayu dan baju yang lusuh menggambarkan lelah pada raut wajahnya, membuat saya hampir terisak karena sesak. Katanya, semakin hari pembeli tahu gorengnya semakin sedikit. Wajan penggorengan yang biasanya hangat, karena pembeli yang silih berganti, siang itu terlihat dingin oleh gerimis dan nasib yang tak pasti. "Yah, sekarang ini bapak menjual tahu goreng untuk menghidupi anak dan istri" ucap Pak sidiq ketika saya bertanya apa yang dilakukannya setelah di PHK.
Sebentar lagi hujan akan turun, Pak Sidiq mulai membereskan gerobaknya serta tahu goreng yang belum satupun terjual sejak tadi. Semenjak pemerintah membuat kebijakan terkait PSBB di Jakarta, Pak Sidiq membayangkan dagangannya akan laku karena toko-toko besar akan ditutup untuk sementara. " Eh ternyata tidak, justru makin hari pembeli semakin sepi, mungkin orang-orang pada beli jajan melalui grab food, sedangkan kita pedagang kecil tidak lagi mendapat pemasukan sama sekali" ungkapnya kecewa.
"Serba susah di masa pandemi ini, ibaratnya berdiri di dua nasib antara mati karena covid atau mati kelaparan." Beberapa kali wajahnya memelas dengan binar sepasang mata yang penuh harap. Ketika hujan mulai turun, terlihat anak-anak serta istrinya berlari keluar rumah untuk membantu ayahnya membereskan gerobak. Sesekali matanya menjurus ke laci gerobak, berusaha ikhlas melihat laci uangnya yang bahkan ludes digondol pencuri yang berkedok pembeli. Sudah jatuh tertimpa tangga pula, begitu pepatah menyebutnya.
"Teringat saat masih ngantor, tapi yah karena pandemi ini perusahaan tidak bisa lagi melanjutkan kegiatan produksi dikarenakan semakin sulitnya mendapatkan bahan baku sesuai yang di butuhkan, apalagi bahan baku produksi yang bergantung pada China," curhatnya.
Ketika ditanya mengenai alasan perusahaannya melakukan pemutusan hubungan kerja kepada beberapa karyawan termasuk dirinya, sambil menghela nafas Pak Sidiq menjawab, "Yah karena tidak ada pemasukan dan kerjasama perusahaan, perusahaan juga kesulitan mendapat bahan baku, penurunan produksi hampir 50%, belum lagi faktor lain seperti kasus Covid-19 yang semakin hari semakin tinggi, PSBB yang tak diiringi jaminan sosial terhadap masyarakat tentu menyebabkan krisis ekonomi yang parah dan badai PHK skala besar."
Meski merasa sedih karena harus kehilangan perkerjaan, untung saja anak dan istrinya selalu memberikan dorongan dan semangat yang besar kepada Pak Sidiq untuk tidak menyerah dan kembali bangkit di masa pandemi ini. "Anak-anak dan istri adalah motivasi terbesar saya untuk terus bangkit dan tetap bertahan di situasi yang sulit ini."
Hujan semakin deras. Langit Jakarta nampak sangat gelap, ruas-ruas jalan pun sudah kuyup. Jalan raya yang tadinya di lewati beberapa pengendara motor mulai berubah menjadi semakin sepi. Pak Sidiq mendorong gerobaknya dengan cepat masuk ke rumah. Meski dengan perasaan gundah karena tahu gorengnya belum laku sama sekali, Pak Sidiq tidak merasa putus asa karena ia selalu percaya bahwa rejeki sudah diatur oleh Tuhan.
"Alhamduillah, dia sosok suami yang pekerja keras dan penuh tanggung jawab, syukurnya karena anak-anak juga ingin membantu, saya mengurus bahan-bahan sementara dia yang menjual di depan rumah." Cerita istrinya sembari menyuguhkan tahu goreng dan teh hangat.
Sambil menunggu hujan redah, Paq Sidiq keluar memandangi langit yang semakin gelap. Semakin kencang angin menerpa semakin deras juga hujan mengguyur Kota Jakarta. Ia pun kembali menghela nafas panjang. Katanya cuaca yang tak menentu seperti ini membuat dagangannya nyaris tidak laku sama sekali. Kebijakan PSBB tidak mendukung ditambah lagi curah hujan tinggi beberapa minggu belakangan ini. Akhirnya, ia kembali memutuskan untuk beristirahat di dalam rumah.