"Congratulation, Alya" Sorak keluargaku penuh bangga setelah mendengar pengumuman kejuaran lomba untuk kesekian kalinya. Namaku Alya, aku anak terakhir dari ketiga bersaudara. Kakakku yang pertama, Naya adalah seorang Direktur Utama termuda yang sukses di Perusahaan ternama.
Sedangkan, kakak keduaku, Roni adalah seorang pengusaha muda yang memiliki banyak cabang Perusahaan bergerak dibidang FMCG. Sebagai anak bungsu, aku selalu menjadi pusat perhatian dan harapan orangtuaku. Aku diharapkan bisa menyaingi prestasi kakak-kakakku, bahkan melampauinya.
Setiap kali aku meraih juara, senyum bangga selalu terukir di wajah orang tua dan kakak-kakakku. Di balik senyum mereka, aku meresakan beban yang begitu berat.
Aku merasa seperti sebuah piala yang harus terus digilap agar tetap bersinar. Aku takut jika suatu saat aku gagal, mereka akan menganggap aku 'manusia tidak berguna'. Aku tidak akan menerima kenyataan, saat kata-kata itu terlontar halus dari mulut mereka.
Sinar matahari pagi menembus celah tirai, menyinari wajah Alya yang masih terbenam dalam tumpukan buku. Kamar tidurnya, yang tertata rapi seperti perpustakaan mini, kini tampak sedikit berantakan.
Tumpukan buku Pelajaran berserakan diatas meja belajar, berdampingan dengan novel favoritnya yang masih terbuka. Jarum jam sudah menunjukkan pukul enam.
Dengan hati yang gelisah, Alya perlahan bangkit dari tempat tidur queen size-nya, menyisihkan selimut sutra lembut yang senada dengan interior kamarnya yang mewah secara perlahan.
Ia berjalan gontai menuju kamar mandi. Cermin kabut menyambutnya, memantulkan bayangan seorang gadis dengan mata panda dan rambut kusut. Alya menatap dalam-dalam. Dalam pantulan itu, ia melihat ketakutan yang tersembunyi di balik senyumnya yang biasanya ceria.
Pikirannya melayang pada ujian mata Pelajaran matematika di hari esok membuatnya resah, takut tidak sesuai ekspektasi kedua orang tuanya. Ia menggigit bibir bawahnya, berusaha mengusir perasaan cemas itu.
Sebelum mandi, Alya mengamati refleksi dirinya di cermin. Dengan telaten, ia menyisir rambutnya yang kusut dan mengikatnya tinggi. Napas dalam diambilnya, lalu ia menarik tirai jendela kamar.
Sinar mentari pagi yang hangat menerpa kulitnya yang putih mulus, bagai sentuhan lembut bidadari. Sejenak, ia larut dalam keindahan pagi. Namun, Alya segera tersadar. Dengan semangat baru, ia membuka jendela lebar-lebar, membiarkan udara segar pagi hari menyegarkan pikirannya.