Lihat ke Halaman Asli

Pengalaman Pertama ke Utara Pulau Jawa

Diperbarui: 13 Juli 2024   02:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

doc. Pribadi

Ingin berbagi dan mengabadikan cerita dalam sebuah tulisan. Pengalaman pertama berkunjung ke utara pulau jawa, Pulau Kalimantan. Diberi kesempatan untuk tinggal dan berbaur dengan masyarakat setempat kurang lebih 1,5 bulan diawal tahun 2024. Banyak pengalaman baru yang belum pernah saya dapatkan di tempat lahir saya, Pulau Jawa. Pengalaman menarik juga miris membandingkan megahnya super mall di jawa dan tertinggalnya pembangunan di pulau ini.

Tinggal disebuah desa kecil, hidup bersama keluarga yang mengabdikan dirinya sebagai guru di daerah pelosok. Mengajar di daerah yang jauh dari tempat tinggal mereka, pun hanya ada 2 pilihan akses jalan untuk sampai ke sekolah, (1) jembatan kayu atau (2) jalan lempung tanah merah yang sangat licin ketika musim hujan. 

Menjadi hal yang baru untuk saya ketika berangkat sekolah melalui jembatan kayu sepanjang kurang lebih 5 meter, ketika kaki dihentak kuat jembatan bergoyang, duhh aduhaii. Semakin memacu adrenalin, ketika ada tali jembatan yang putus sehingga jembatan miring dan tetap dilewati. Dalam hatiku hanya bisa berkata "Ohh Tuhann di bawah jembatan ini ada sungai dengan arus yang cukup deras". 

Lain kesempatan saya bersama ibu guru melewati akses jalan (2) melalui jalanan lempung dengan motor bebek. Saya terpaksa turun dan jalan ketika ada kubangan lumpur, takut motor kami selip. Sempat beberapa kali turun motor dan berjalan karena banyak spot lumpur. Dalam hatiku "untuk main motor trail sih enak nih cocok, tapi kalo berangkat -- pulang sekolah musti kaya gini, haduhh"

doc. Pribadi

Lanjut cerita di sekolah, pemandangan berbeda seperti jaman saya sekolah. Dulu rasanya senang sekali jam kosong dan diganti dengan kegiatan bersih -- bersih kelas. Berbeda dengan mereka, karena saya datang setelah liburan sekolah, maka kegiatan belajar mengajar belum efektif, mereka justru bertanya -- tanya kepada bapak ibu guru singkatnya "bu/pak kapan kita mulai belajar?". Mereka juga sekolah hanya beralaskan sandal jepit. Semangat menuntut ilmu mereka patut saya acungi jempol.

Mungkin itu juga karena perjuangan mereka untuk sampai ke sekolah, jalan kaki bersama berkilo kilo meter jauhnya dengan jalan yang masih tanah. Sembari jalan, mereka memetik daun pakis atau rebung yang tumbuh liar atau membawakan durian yang jatuh di hutan yang mereka lewati untuk dijual ke bpk/ibu guru untuk sekedar mendapatkan uang jajan. Di daerah itu pun listrik dan sinyal belum masuk.

Mereka dan keadaan disana mengajarkan saya arti dari rasa syukur. Hidup dilingkungan modern dengan segala kemudahannya terkadang membuat kita lupa akan saudara -- saudara yang ada di pelosok negeri ini. Mereka yang tinggal di ibu pertiwi, satu bendera merah putih, semestinya merasakan kemudahan yang sama, tapi mengapa jauh berbeda?




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline