Waktu itu masih sekitar pukul delapan malam.
Aku berjalan kaki di sepanjang trotoar menuju warung Bakso Pak Udin yang terletak di persimpangan jalan, tak jauh dari rumahku.
Kurasakan angin semilir berhembus, menelusup menembus tulang dan sukses menciptakan sensasi dingin yang tak terelakkan. Berbagai kendaraan pun kulihat berlalu lalang, suara serta sorot cahayanya saling beradu seolah menyombongkan kepemilikan masing-masing. Mungkin butuh waktu sekitar sepuluh menit, aku baru tiba di Warung Bakso yang menjadi tujuanku itu.
Usai melakukan pesanan, aku melirik mencari tempat duduk selagi menunggu. Atensiku lantas terhenti tepat pada dua orang familiar yang ternyata sudah sampai lebih dulu dan sedang duduk. Mereka asik makan bakso, aku pun akhirnya memilih bergabung.
"Apa kabar?" Tanyaku memulai percakapan.
"Baik, sih. Kamu juga baik, kan?" Adimas bertanya balik. Aku mengangguk.
Sekedar informasi, aku dan kedua orang di hadapanku ini sebelumnya ada di satu SMA yang sama, bahkan satu kelas. Adimas yang menjawab pertanyaanku tadi adalah si bintang kelas dan dia cenderung sangat tertarik pada pembahasan politik. Setahuku, dia juga sekarang sedang sibuk kuliah, tepatnya di Jurusan Pendidikan Kewarganegaraan.
"Gimana kuliahmu?" Kali ini Raditya yang bertanya, cowok yang sejak tadi duduk bersampingan dengan Adimas itu terlihat menyeruput es tehnya.
"Ya gitu, pusing." Jawabku sekenanya. Raditya dan Adimas cuma ketawa kecil sebagai tanggapan. Bisa aku asumsikan bahwa mereka pun sedang menikmati kepusingan persis seperti yang sedang kualami saat ini. Tapi enggak masalah. Waktu akan terus berjalan, masa-masa sekarang sesungguhnya akan tetap terlewati juga.