Di negara yang sedang berkembang, isu kesehatan mental masih menjadi topik yang terpinggirkan. 4 dari 5 penderita gangguan mental belum mendapatkan penanganan yang sesuai dan pihak keluargapun hanya menggunakan kurang dari 2% pendapatannya untuk penanganan penderita. Di Indonesia sendiri, stigma terhadap penderita menyebabkan para penderita semakin sulit untuk mendapatkan penanganan yang tepat. Bahkan data dari riset kesehatan dasar menyebutkan bahwa pada tahun 2013 terdapat 56000 penderita yang dipasung karena stigma negatif, kurangnya informasi, dan buruknya fasilitas penanganan. Data lain dari riset kesehatan dasar Indonesia, pada tahun 2007 terdapat sekitar 1 juta orang yang mengalami gangguan jiwa berat dan 19 juta orang yang menderita gangguan jiwa ringan hingga sedang, dengan jumlah yang terus meningkat secara signifikan. Angka – angka tersebut sebenarnya hanyalah puncak gunung es yang menyimpan potensi bahaya laten lain yang lebih besar.
Isu kesehatan mental apabila terus menerus terpinggirkan akan berpengaruh buruk bagi Indonesia. Penurunan produktifitas terbukti berdampak nyata pada perekonomian. DALY (Disability-Adjusted Life Year) atau waktu yang hilang selama setahun dari penderita gangguan mental ternyata 12,5% lebih besar daripada penderita penyakit jantung sistemik dan TBC . Bahkan menurut WHO dan WEF (World Economic Forum) gangguan mental menjadi beban ekonomi terbesar di seluruh dunia dibanding isu kesehatan lain dengan menghabiskan $2,5 triliun pada tahun 2010 dan diperkirakan menjadi $6 triliun dolar pada tahun 2030 karena 2/3 dari hilangnya dana terpakai akibat disabilitas dan kehilangan pekerjaan. WHO pun dengan tegas menyatakan bahwa pembangunan kesehatan fisik dan mental secara berimbang merupakan sebuah kewajiban yang harus ditanggung bersama oleh pemerintah dan segenap masyarakat.
Berdasarkan kenyataan tersebut sudah sepatutnya masyarakat untuk lebih aware akan pentingnya kesehatan mental karena berdampak langsung terhadap perekonomian negara dan mempengaruhi indeks pembangunan manusia. Perilaku negatif dan stereotip bahwa penderita gangguan mental adalah seorang aneh dan berbahaya yang sering disematkan masyarakat semakin mempersulit penderita untuk dapat menerima penanganan yang sesuai dan menghambat proses kesembuhan serta adaptasi sosial penderita. Kondisi ini semakin diperburuk dengan sikap masyarakat yang lebih memilih untuk melakukan pemasungan dan pengobatan tradisional tanpa evidence based yang kuat daripada mencari psikolog, psikiater ataupun mental health care.
Menurut Profesor Psikologi dari Illinois Institute of Technology, Patrick Corrigan, PsyD, stigma terhadap gangguan mental semakin hari semakin memburuk. Beberapa gangguan mental seperti depresi dan gangguan kecemasan sosial memiliki symptom (gejala) yakni merasa diri terisolasi dan tidak nyaman bila bertemu dengan orang lain, maka dapat dibayangkan kondisi penderita yang memiliki symptom tersebut akan semakin diperburuk dengan label negatif dari masyarakat. Membuat para penderita semakin kesepian, terisolasi, serta sulit mendapatkan penananan yang tepat. Sebagian bahkan menginternalisasi pesan dan membentuk citra diri negatif sehingga para penderita merasa tidak layak untuk hidup dan memilih untuk melukai diri sendiri bahkan bunuh diri. Berdasarkan data WHO pada tahun 2005, terdapat 50.000 orang yang melakukan bunuh diri setiap tahun dan terus meningkat. Hal ini mengindikasikan bahwa penderita kurang mendapatkan dukungan sosial sehingga lebih memilih untuk mengakhiri hidupnya.
Banyak hal yang masyarakat bisa lakukan untuk mengatasi hal tersebut. Salah satunya adalah dengan mengurangi stigma negatif terhadap para penderita serta menyadari dan menerima bahwa para penderita sebenarnya juga merupakan seorang manusia yang layak untuk mendapatkan perhatian dan penanganan yang sesuai. Selain itu, masyarakat dapat pula menumbuhkan sikap lebih peka terhadap sanak keluarganya. Bila salah seorang anggota keluarga terlihat memiliki beberapa symptom yang mengarah pada gangguan mental, deteksi dini gangguan mental menjadi langkah penting yang dapat dapat dilakukan untuk mengantisipasi agar penderita tidak mengalami kondisi yang semakin buruk. Informasi terkait symptom dan langkah awal penanganan penderita gangguan mental telah banyak bertebaran di internet.
Salah satu bentuk kepedulian kita terhadap sanak keluarga adalah dengan mengumpulkan informasi tersebut dan membantu menyebarkannya ke orang – orang terdekat. Menyediakan waktu untuk mendengarkan dengan tulus permasalahan kerabat yang terdiagnosis gangguan jiwa tertentu dapat mencegah gejala semakin memburuk. Selanjutnya, kesadaran bahwa kondisi gangguan mental sama pentingnya dengan kondisi gangguan fisik perlu lebih ditingkatkan. Berkaitan dengan hal itu, pemerintah dapat memberikan sosialisasi dan edukasi tentang berbagai gangguan mental untuk mengurangi stigma dan salah persepsi yang sering disematkan masyarakat kepada penderita.
Pemerintah juga perlu untuk lebih memperhatikan fasilitas dan kualitas dari penanganan penderita. Pendidikan yang lebih baik juga perlu diberikan kepada orang – orang yang concern dan aktif dalam menangani penderita. Sudah saatnya alokasi dana dari pemerintah tidak hanya digunakan untuk kesehatan fisik semata tetapi juga kesehatan mental, mengingat banyak pula riset yang menyatakan bahwa sebagian besar masalah kesehatan fisik berakar pada masalah mental.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H