DILEMA REKRUITMEN POLITIK SISTEM PROPORSIONAL TERBUKA.
Negara ini meng'impikan hadirnya para politisi hebat, berkualitas, kelak mampu menahkodai kapal besar bernama Indonesia" menuju pelabuhan sejahtera dan berkeadilan sosial bagi seluruh warganya. Negara ini butuh politisi bermoral,berdedikasi dan loyalitas tinggi pada meknaisme, sistem dan ideologi negara atau buah dari kesepakatan pendiri bangsa. Negara butuh politisi berjiwa edukasi mau belajar dari masa lalu (sejarah) tempat mengasah kamampuan, keterampilan dan menyadari sejarah adalah kaca spion pemandu supaya tidak dikutuk sejarah yang sama dan setiap orang adalah guru,setiap tempat adalah sekolah (Ki H.D) politisi adalah seorang negarawan, Bukan politisi yang merasa diri lebih pintar,lebih bisa, lebih tahu. Kata Socrates" politisi seperti itu.! adalah politisi bodoh, bodoh karena sudah merasa diri lebih hebat jadi susah untuk diberi tahu.
Diskursus politik sistem proporsional terbuka kedaulatan memilih pemimpin berada ditangan masyarakat (citizen) meskipun kecenderungan gaduh dan menguras sumber daya financial, jadi para calon legislatif bermodal financial besar berpeluang lolos masuk parlemen, data pileg 2019 terdapat 85/persen calon legislatif lolos keparlemen hampir semua berlatar belakang (beground) berkantong tebal, pasca kemenangan para wakil terpilih dalam benak pikiran mereka bukan urusan dedikasi, loyalitas atau perbaikan sistem yang menghadirkan tata nilai,norma baru menjamin kepastian rasa keadilan kepada masyarakat sebagai penanda negara hadir ditengah-tengah kehidupan masyarakat, akan tetapi perihal tersebut kini menjadi peristiwa langka, justru mencuat dipermukaan perilaku politik yang kecenderungan fokus pada bagaimana mereka mengembalikan modal politik yang mereka keluarkan saat mengikuti kotestasi politik. Sementara para calon legislatif bermodal politik seperti, kecerdasan,wawasan, sikap dan modal seadanya hanya 15/ persen lolos masuk parlemen, mereka adalah orang-orang baik yang beruntung hanya memiliki kpasitas,modal sosial seperti, kepercayaan, jaringan informal maupun norma, ketika mereka memasuki sistem politik dan kekuasaan pun tidak bisa berbuat banyak karena kalah suara.
Proses rekruitmen politik secara terbuka berimplikasi pada banyak hal.
Para caleg terpilih untuk mengisi jabatan publik baik dilevel eksekutif maupun legislatif entah duduk sebagai ketua/wakil/anggota DPR-RI-DPRD-DPD, bila dilihat dari produk undang-undang mereka hasilkan dinilai kurang produktif, persoalan produktifitas ini era kaitannya dengan kualitas sumberdaya manusia terpilih, beberapa pengamat berpendapat rendahnya produktifitas anggota dewan saat ini ditengarai akibat kegagalan partai politik melakukan kaderisasi dan buruknya sistem rekruitmen politik, peran partai politik lebih memprioritaskan calon memiliki popuralaritas dan modal financial besar karena dianggap berpeluang menang ketimbang calon-calon memiliki kapasitas baik pengetahuan, pemahaman kostitusi, wawasan nasional dan wawasan kebangsaan hanya sedikit saja.
Betul saja pada pilpres 2019, dari banyaknya calon legislatif terpilih yang mengisi pos-pos diparlemen terdapat 85/persennya adalah mereka yang memiliki cost politik tebal (hasto). Yuforia politik populis yang ditampilkan partai politik berdampak langsung terhadap produktifitas dan kualitas penyelenggaran, tata kelola, pengawasan dan pengendalian sistem politik dan kekuasaan, bahkan ada kecenderungan eksekutif dan birokrasi dan anggota legislatif menjalin hubungan simbiosis mutualis guna melindungi dan memuluskan kepentingan masing-masing, realitas tersebut tumbuh sumbur diera sistem desentralisasi (otoda) (1).
Selain permasalah calon legiaslatif kurang kompeten dan minim prestasi ide maupun gagasan dan semaraknya politik uang (money politik) telah melahirkan persaingan politik kurang sehat dan berimplikasi secara luas, perilaku pemilih hak-hak demokrasi diperjual belikan, realitas politik kurang sehat ini membuat para calon anggota legislatif kuran modal dan siap mental bisa cilaka, berkaca dari pengalaman pileg 2019, banyak calon legislatif gagal lolos ke parlemen, karena tidak memiliki modal financial yang cukup, mereka hanya menjadi calon legislatif, tidak mampu lolos menjadi anggota legislatif bahkan diantara mereka yang gagal belun siap mental sulit menerima kenyataan pahit atas kegagalan mereka hingga mereka ada yang jatuh sakit,stress,meninggalkan utang bahkan masuk rumah sakit jiwa (2).
Fenomena rekrutmen politik sistem proporsional terbuka meskipun memiliki kelebihan hak asasi politik warga negara diutamakan baik hak untuk memilih maupun untuk dipilih dan sistem ini juga mengarah pada sistem politik yang bergerak kearah sistem politik yang lebih liberal, sedangkan kekurangan dari sistem ini, maraknya politik uang atau (money politic), kontentasi politik kerap gaduh (hasto) dan sistem ini berbeda dengan sistem rekruitmen politik proporsional tertutup kelebihannya adalah partai memiliki kedaulatan dalam memilih calon pemimpin yang akan mengisi pos-pos di parlemen tentunya partai akan memilih kader-kader partai terbaiknya, kontestasi dan konflik politik terjadi dan bersifat internal, sedangkan kekurangan sistem ini partai politik akan memilih kolega mereka sendiri dan money politik berlangsung tertutup.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H