Lihat ke Halaman Asli

Putra Perdana

Wakil Ketua 1 Senat Mahasisw UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Matinya Kepakaran: Kuasa Media Dibalik Menyeruaknya Kasus Jessica - Mirna

Diperbarui: 18 Oktober 2023   21:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber Ilustrasi: vecstock on Freepik 

Siapa yang tidak mengenal Jessica Wongso? Namanya mencuat dan menjadi perbincangan publik setelah kasus kopi sianida yang menewaskan Mirna pada 2016 lalu. Melihat fakta bahwa Mirna dan Jessica merupakan sahabat, membuat publik bertanya-tanya bagaimana Jessica tega meracuni sahabatnya sendiri? Apa alasannya? Siapa saja yang terlibat? Setiap media informasi berlomba-lomba memberitakan mengenai kenapa dan bagaimana Jessica meracuni Mirna. Kini, setelah 7 tahun Jessica divonis bersalah oleh Pengadilan Jakarta Pusat, kasusnya menyeruak kembali. Film garapan Netflix bertajuk "Ice Cold: Murder, Coffee, and Jessica Wongso" sekali lagi berhasil menjadikan publik kembali bertanya-tanya tentang legitimasi putusan pengadilan yang memvonis Jessica 20 tahun penjara. Tagar #justiceforjessica pun bertebaran di jagat sosial media, dari mulai Twitter, Instagram, Tiktok, dan sebagainya. Komentar tentang kasus ini terus disuarakan baik oleh netizen biasa hingga para pejabat publik.

Fenomena semacam ini sebenarnya sudah lumrah terjadi di era sosial media, dimana pengetahuan yang sudah mapan digugat oleh para "pegiat" sosial media. Fenomena ini, menurut Tom Nichols, yang disebut sebagai Matinya Kepakaran. Menurut Nichols, sosial media telah membuat kredibilitas pengetahuan bukan lagi diukur dari "seberapa kredibel sumber informasinya", melainkan "seberapa populer informasinya". Sehingga, kini, banyak dari masyarakat kita yang mendadak jadi pakar.

Analisis Nichols, menurut saya, relevan untuk membaca fenomena munculnya kembali kasus Jessica-Mirna. Bagaimana putusan pengadilan, yang telah diputus oleh pakar (hakim) dan melibatkan pakar di bidang lain (psikolog dan kriminolog) begitu mudahnya dianggap tidak legitimate hanya karena mereka menonton serial Netflix. Padahal, pengadilan telah menolak seluruhnya upaya banding, kasasi, hingga peninjauan kembali Jessica dalam kasus ini.

Lalu, bagaimana kita menanggapinya? Pertama-tama yang perlu kita ketahui adalah film merupakan realitas yang direkayasa oleh seseorang produser, seluruh informasi yang terdapat pada film merupakan hasil pilah dan pilih produser agar sesuai dengan tujuan disajikannya film tersebut. Jadi, sangat mungkin apabila dilakukan framing terhadap realitas sehingga mengaburkannya realitas yang sesungguhnya. Kasus penemu energi nikuba yang katanya dikontrak ferrari belakangan ini merupakan salah satu contoh kuatnya framing media dalam membentuk presepsi masyarakat.

Oleh karena itu, kita sebagai penonton tidak perlu terlalu serius menanggapi film ini karena pada akhirnya keriuhan publik inilah yang diinginkan oleh penyaji film, semakin ramai isunya, semakin banyak penontonnya, semakin banyak pula untungnya. Dilain sisi, fenomena ini juga memberikan kita gambaran atas ketidakpercayaan publik terhadap aparat penegak hukum. Oleh karena itu, menjadi PR bagi para penegak hukum untuk memutus seadil-adilnya dan mempercepat reformasi hukum sebagaimana telah dijanjikan sejak lama.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline