Jam menunjukkan pukul 11.37 wib. Suara yang berasal dari percakapan dua orang di warung kopi itu memecah dinginnya malam.
Sampean kan sarjana kang, apa ndak malu sarjana kok ngajar di tempat pelosok seperti ini?
Lha trus salahnya di mana gus?
Bukan salah gitu kang... kenapa ndak coba cari kampus atau sekolah lain di kota sana yang lebih elit, atau kerja di bank, perusahaan, jadi pegawai negara, dsb. Saya yakin sampean pasti diterima...
Gus, kalau semua sarjana maunya hidup di kota, di tempat-tempat elit, kerja enak, di ruangan ber-AC, nyaman, terus siapa yang akan tinggal di pelosok-pelosok, ngurus santri-santri, mulang ngaji bocah-bocah cilik, jagong'an sama arek-arek, masyarakat dsb. Lagian yang saya lihat bukan elitnya, di mana kita tinggal, tapi kebermanfaatan dan penerimaan orang terhadap kita gus. Sampean terlalu mengukur kesuksesan seseorang dari materi, tempat tinggal, jabatan, dan sebagainya.
Kita orang pesantren gus, jangan ikut-ikut [mayoritas] orang non pesantren dalam melihat dunia. Bukan berarti kita tidak mikir kadonyan, tapi sekali lagi itu bukan tujuan gus. Itu hanya serupa garam bagi masakan, bukan sesuatu yang harus diprioritaskan. Lagi pula, keberadaan saya di sini saya anggap sebagai lelono broto, gus. Saya hanya kepingin memulai hidup dari bawah, sehingga saya dapat mencatat siapa saja yang telah membantu dan menemani, untuk kemudian tidak akan pernah saya lupakan sepanjang hidup sebagai orang yang berjasa terhadap sejarah hidup saya. Seperti sampean, yang selalu ada buat saya.
Iya kang, saya paham.. cuma apa sampean ndak kepingin hidup di tempat yang lebih enak, nyaman, dan berkecukupan...
Sampean lupa ya, apa jadinya lembaga tempat kita sekolah dulu, kalau kyai nya memilih tinggal di tempat elit, hidup enak, dsb, dan tidak mau kembali ke pelosok, membangun pondok, mungkin kita tidak akan pernah mengenyam pendidikan Islam dengan sistem modern itu gus, dan mungkin lembaga pendidikan yang banyak membidani lahirnya orang-orang hebat di Republik ini tak akan pernah ada di muka bumi ini. Kesuksesan orang itu tidak instant gus, butuh proses panjang, bahkan tidak sedikit kesuksesan orang yang kita tahu setelah orangnya meninggal, sedo. Jasad mereka boleh mati, tapi jiwa tetap hidup. Dari dalam kubur, suara mereka jauh lebih keras dan lantang dari pada ketika di atas bumi.
Saya jadi pengen seperti sampean, kang, bebas, tidak terikat, bisa menentukan masa depan sendiri...
Bersyukur sampean gus, sebagai anaknya mbah yai, hanya tinggal meneruskan, menyiram, memupuk, bahkan hanya tinggal memanen dan menikmati apa yang sudah ditanam oleh belio. Sampean hanya tinggal belajar dan mempersiapkan diri untuk menjadi pengganti belio ketika sedo. Dan yang penting, setinggi apapun kedudukan dan tingkat pendidikan sampean, seberapa mulya maqom keulamaan dan kekyaian sampean, seberapa banyak santri dan masyarakat yang "ngenut" sampean, sampean harus tetep andhap ashor gus, tepo sliro, mbeneh, nyawiji sama santri-santri, sama orang-orang sekitar pesantren, dan masyarakat, jangan malah memperlebar jurang sosial, artinya jangan mentang-mentang sudah berpakaian bersih, lantas tidak mau bergaul dengan yang [masih] berpakaian kotor.
Sebab yang dilihat dan dinilai oleh masyarakat [dan Tuhan] bukan ke-kiai-an sampean, tapi kesediaan sampean menemani dan mengayomi mereka dalam setiap proses hidup mereka. Pohon-pohonan [pohon palsu] namanya jika dapat hidup dan berbuah tanpa akar, gus, dan masyarakat adalah akar itu. Maaf gus, bukan maksud menggurui sampean. Saya hanya tidak mau sampean enggan melihat ke bawah ketika sudah ada di atas. Bagi saya, itu adalah se-bajingan-bajingan manusia...