Lihat ke Halaman Asli

Putra Indrawan

UNIVERSITAS PENDIDIKAN GANESHA

Hukum Adat Memadu/Poligami terhadap Keberlangsungan Generasi Penerima Sanksi Adat

Diperbarui: 12 Desember 2023   13:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Desa yang terletak di perbukitan Kintamani, Bangli, Bali ini punya nama yang tidak biasa: Bonyoh. Beragam versi menawarkan sejarah dan asal-usul nama desa yang terdengar unik bagi warga sekitar dan orang yang baru mendengarnya. Sebagian masyarakat mempercayai satu versi meskipun tidak didukung temuan arkeologis atau prasasti. Tapi, sebagian yang lain malah yakin dengan versi sendiri. Tapi, mereka tetap bisa hidup rukun, tenteram, damai, dan memegang teguh adat yang sudah berlangsung secara turun temurun. Desa Bonyoh Berada di Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli, Provinsi Bali. Di desa bonyoh terdapat awig-awig yang tidak memperbolehkan warganya untuk beristri lebih dari satu (NGEMADUANG), pelanggaran terhadap pantangan beristeri lebih dari satu bakal dijatuhi sanksi adat. Tapi, masing-masing desa adat ini memiliki bentuk sanksi berbeda. "Lelaki yang melanggar aturan ini akan diberhentikan sebagai krama adat," kata Bendesa Adat Bonyoh, I Wayan Gandra. Karena status krama adat dicabut, dia tidak diperkenankan mendatangi pura-pura desa adat.Menurut sesepuh Desa Bonyoh, I Wayan Kanta, sanksi adat bagi lelaki yang ngemaduang alias berpoligami saat ini tidak seberat masa lalu. "Kalau dulu dilarang masuk pekarangan desa," kata Wayan Kanta. Lambat laun larangan ini diubah menjadi pencabutan status krama adat. Meskipun status krama adat dicabut, pelaku poligami di desa ini masih diberi hak atas tanah kuburan. Hal ini berbeda dengan desa-desa adat lain di Bali yang tidak memberikan hak atas tanah keburuan jika status krama adatnya sudah dicabut. Pelanggar pantangan poligami di Bonyoh juga masih dibolehkan menghadiri kemarian warga. Tapi, rasa penerimaan masyarakat sudah berkurang karena kegiatan-kegiatan itu biasanya digelar di pura-pura desa adat. "Pada saat yang sama pelaku ngemaduang kan tidak boleh pura-pura desa adat," katanya. Meski terkesan lebih ringan dibandingkan desa adat lain, sanksi ini sama dengan pengucilan. "Ya semacam pengucilan juga," katanya. Sanksi pencabutan krama adat bagi pelaku poligami ini tidak hanya berlaku di Bonyoh, tapi juga di Desa Umbalan. Dua desa ini berjarak kurang lebih 30 kilometer dan memiliki hubungan yang sangat erat dalam pemberlakuan sanksi adat. Tradisi yang berdekatan, bahkan hampir sama ini diduga kuat karena adanya hubungan pasawitran di masa lalu. I Wayan Kanta mengatakan tidak mengetahui dengan pasti sejak kapan dan alasan utama pantangan berpoligami ini. "Karena ini sudah berjalan turun-temurun," katanya.

Namun, dari paparan para sesepuh adat diyakini bahwa orang yang menjalankan ngamaduang tidak akan bahagia seperti yang didapatkan lelaki dengan satu isteri. Apalagi masyarakat yakin bahwa menambah isteri berarti menambah beban dan tanggung jawab. Potensi ancaman konflik yang tinggi antara wanita yang dimadu dan madunya juga menjadi salah satu alasan. Akibatnya energi habis untuk mengurus urusan internal rumah tangga kaena isteri lebih dari satu.

Ini yang menyebabkan dilemma terjadi saat penerapan awig-awig akhir-akhir ini di desa bonyoh, dimana keturunan dari hasil ngemaduang akan tidak bisa melakukan persembahyangan di beberapa pura sehingga akan terus bertambahnya generasi yang tidak dapat melakukan persembahyangan, hal ini memerlukan kajian yang lebih mendalam terhadap relevansi awig-awig agar bisa tepat sasaran.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline