Lihat ke Halaman Asli

Nopa Ariansyah

Manusia Fakir Ilmu

Bukan Vonis Kronis

Diperbarui: 30 Maret 2017   00:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Vonis hakim untuk terpidana kasus korupsi yang menjerat kepala daerah dinilai masih belum menimbulkan efek jera. Hal ini disebabkan kasus korupsi masih dianggap bukan sebagai sebuah extraordinary crime atau kejahatan yang luar biasa. Padahal kasus korupsi memiliki dampak destruktif terhadap pembangunan, keuangan, dan kesejahteraan rakyat. Lebih jauh lagi hal ini menjadi sebuah warisan catatan sejarah yang kelam mengenai bobroknya mental para pejabat di negeri ini. 

Baru-baru ini vonis enam tahun penjara dan pencabutan hak politik selama tiga tahun terhadap Bupati Banyuasin non-aktif dinilai masih kurang sesuai. Vonis tersebut bukan merupakan vonis yang bersifat kronis sehingga dapat menimbulkan efek jera dan efek jangka panjang. Mungkin hakim mempunyai pertimbangan tersendiri berdasarkan fakta-fakta yang disajikan dalam persidangan maupun sikap kooperatif tersangka. 

Namun biarlah. Sanksi secara pidana sudah diberikan oleh negara melalui pihak yang berwenang. Sekarang saatnya kita sebagai warga negara, khusunya warga Banyuasin, memberikan sanksi moral dan sosial yang bersifat kronis. Sederhananya marilah kita posisikan terpidana korupsi sebagai pelanggar nilai kebaikan, cacat moral, cacat etika, dan tidak pantas lagi mengemban tugas serta amanah untuk memegang jabatan publik yang menguasai hajat hidup orang banyak. Khususnya dalam jabatan politik. 

Lantas demikian apakah kita berlagak seperti manusia alim yang tanpa dosa dengan memperlakukan terpidana koruptor seperti itu? Tidak demikian. Sebenarnya hal ini bertujuan untuk dijadikan sebagai peringatan bagi kita sendiri dan orang-orang terdekat kita agar mawas diri terhadap tindakan-tindakan korupsi dan segala sejenisnya. Karena kita sadar bahwa selain vonis pengadilan ada vonis yang bersifat kronis dari masyarakat apabila kita melakukan tindakan korupsi. 

Sekali lagi ditekankan bahwa vonis yang dijatuhkan kepada koruptor tidak bersifat kronis. Tidak menimbulkan efek jera apalagi efek mematikan bagi kasus koruspsi dan tindak pidana lainnya yang dilakukan oleh pejabat publik di daerah. Kedepannya setelah mereka selesai menjalani masa hukuman dan dikembalikan hak politiknya bukan tidak mungkin para mantan terpidana yang pernah menjadi pejabat publik akan kembali turun gelangang untuk ikut dalam kontestasi pilkada dengan mengandalkan jargon “Lebih baik mantan narapidana daripada mantan kyai”. Ironis.

Saya sependapat dengan pernyataan Anies Baswedan yang mengatakan bahwa negara ini masih banyak orang baik yang bisa dijadikan pemimpin. Orang baik bukanlah orang yang selalu benar dan sempurna, kita tidak akan pernah menemukan mereka. Tapi setidaknya carilah orang-orang yang tidak bermasalah secara hukum dan lihatlah latar belakang atau track-record-nya.

Sekarang tinggal kita sebagai masyarakat apakah mau turun tangan atau urung angan. Turun tangan untuk membantu orang baik menjadi pemimpin. Atau kita hanya urung angan dengan berdiam diri tanpa perbuatan. Membiarkan para mantan terpidana korupsi melenggang bebas dan santai di arena politik daerah hingga meraih kembali supremasinya.

Lalu bagaimana jika orang baik kembali menyalahgunakan kekuasaan dan amanah yang diberikan? Kalau memang demikian mari kita anggap mereka bukan sebagai orang baik lagi. Mereka akan kita ganjar dengan hukuman yang berupa sanksi sosial dan moral serta kita ganti dengan orang yang baik lagi pada pilkada berikutnya. Dengan catatan kita harus tetap turun tangan bukan urung angan. Bukan hanya sebatas mengantarkan orang baik yang kita pilih pada tampuk kekuasaan saja melainkan harus menjadi mitra kritis sesuai dengan fungsi dan peran sosial kita dimasyarakat.

Perlu kita sadari bahwa hal ini adalah sebuah estafet perjuangan yang akan kita wariskan kepada anak cucu sebagai generasi penerus kita. Setiap generasi ada masanya dan setiap masa ada generasinya. Saat ini adalah masanya kita sebagai sebuah generasi yang bertugas untuk memastikan bahwa warisan yang kita tinggalkan kegenerasi pada masa berikutnya adalah perjuangan tanpa henti untuk mengantarkan orang baik menjadi pemimpin. Pemimpin yang berjuang bersama rakyatnya untuk menunaikan janji-janji kemerdekaan yang tertulis di dalam UUD 1945, diantaranya : memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline