Lihat ke Halaman Asli

Gede Putra A

Guru SMA

Mengapa Umat Hindu Melaksanakan Siwa Ratri?

Diperbarui: 17 Juni 2015   12:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

(Oleh: Gede Putra Adnyana, dari berbagai sumber)

1.Arti, Makna, dan Hakikat Siwa Ratri

Mengapa umat Hindu melaksanakan Siwa Ratri? Pertanyaan sederhana yang terkadang mendapatkan jawaban keliru dan bahkan cenderung menyesatkan. Pertanyaan sederhana yang hendaknya mendapatkan jawaban logis dan kritis. Siwa Ratri terdiri dari dua kata, Siwa yang artinya baik hati, suka memaafkan, memberikan harapan, menyelamatkan, membahagiakan dan Ratri yang artinya malam. Siwa juga berarti terang dan Ratri  berarti gelap. Siwa berarti Sanghyang Siwa dan Ratri berarti malam. Dengan demikian, Siwa Ratri mengandung arti malamnya Sanghyang Siwa untuk menyelamatkan manusia dari kegelapan pikiran dan hati serta memberi harapan menuju jalan yang terang untuk mencapai tujuan yaitu kebahagiaan.

Kegelapan pikiran berpotensi menghasilkan dosa. Oleh Karen itu, perlu ada perenungan dan introspeksi agar tidak terjebak dalam dosa berikutnya. Siwa Ratri adalah malam terbaik melakukan perenungan. Karena, Siwa Ratri adalah saat malam tergelap, penuh kesucian (nirmala), Sanghyang Siwa beryoga, dan gaya tarik bulan terkecil terhadap kehidupan. Sehingga, sangat tepat melakukan tapa, yoga, semadi atau perenungan terhadap perbuatan dosa masa lalu dan masa kini agar tidak terjerumus dalam perbuatan dosa berikutnya di masa datang. Dengan demikian, Siwa Ratri adalah malam pencapaian pencerahan dan kesadaran diri.

Jadi, Siwa Ratri bukan malam peleburan Dosa, karena ajaran Hindu tidak mengenal peleburan dosa. Dosa adalah hasil perbuatan (karma) yang tetap melekat pada diri dan harus berbuah (phala). Dalam Siwa Ratri diharapkan segera ada kesadaran agar terhindar dari papa (kegelapan pikiran dan jiwa) sehingga tidak menambah dosa. Oleh karena itu, pelaksanaan Siwa Ratri adalah refleksi diri untuk memelihara kesadaran agar terhindar dari dosa dan papa dengan selalu jagra, yakni sadar, eling atau melek terhadap perbuatan baik dan buruk.

Dalam Bhagavadgita III, 42, disebutkan bahwa “orang akan memiliki alam pikiran jernih, apabila atman (jiwa yang suci) selalu menyinari budhi (kesadaran)”. Budhi (kesadaran) menguasai manah (pikiran), dan manah menguasai indria. Sehingga, jika tercapai kesadaran diri, maka indria akan dapat dikendalikan. Budi (kesadaran) inilah yang akan dibangkitkan saat melaksanakan Siwa Ratri (Siwa Latri), yakni dengan memusatkan pikiran pada Sanghyang Siwa guna mendapatkan kesadaran agar terhindar dari pikiran yang gelap. Jadi, Siwa Ratri adalah malam peningkatan kesadaran atau malam pejagraan.

Siwa Ratri pada hakikatnya kegiatan Namasmaranâm pada Siwa. Yakni, selalu mengingat dan memuja nama Siwa yang memiliki kekuatan melenyapkan kegelapan batin. Oleh karena itu, Siwa Ratri hendaknya dilaksanakan setiap bulan, yakni tiap menjelang tilem (purwaning). Sedangkan menjelang tilem kepitu (paling gelap) dilangsungkan upacara Maha Siwa Ratri. Dengan melakukan Siwa Ratri berarti telah melakukan Sanca dan Dyana. Dalam Lontar Wraspati Tattwa disebutkan, Sanca Ngaranya Netya Majapa Maradina Sarira. Sanca artinya melakukan japa dan membersihkan tubuh. Sedangkan dalam Sarasamuscaya disebutkan, Dhyana Ngaranya Ikang Siwasmarana, artinya, Dhyana adalah selalu menyebut atau mengingat Hyang Siwa.

2.Purana Siwa Ratri

Ajaran Siwa Ratri bersumber dari empat purana, yakni Skanda Purana, Garuda Purana, Siva Purana, dan Padma Purana.

a)Skanda Purana (bagian Kedarakanda), bercerita tentang percakapan Lomasa dengan para Rsi, menceritakan kejahatan Canda yang membunuh segala mahluk bahkan brahmana. Namun, akhirnya sadar tentang kebenaran melalui ajaran Siwa Ratri.

b)Garuda Purana (bagian Acarakanda), menceritakan tentang jawaban Siwa atas pertanyaan Dewi Parwati bahwa ajaran Siwa Ratri adalah utama agar roh terbebas dari hukuman neraka.

c)Siwa Purana (bagian Jnanasamhita), menceritakan percakapan Suta dengan para Rsi tentang Siwa Ratri dan kekejaman Rurudruha yang menjadi sadar setelah melaksanakan ajaran Siwa Ratri.

d)Padma Purana (bagian Uttarakanda), memuat percakapan raja Dilipa dengan Wasista. Wasista menceritakan bahwa Sivaratri adalah vrata yang sangat utama, antara bulan Magha dan Palghuna.Salah satu Padma Purana yang populer dalam pelaksanaan Siwa Ratri di Bali adalah Siwa Ratri Kalpa karya Mpu Tanakung. Siwa Ratri Kalpa adalah kekawin yang terdiri dari 20 wirama dan 232 bait, merupakan untaian narasi yang sarat makna dengan nuansa estetis.

3.Tata cara Pelaksanaan Siwa Ratri

Siwa Ratri dilaksanakan pada hari Catur Dasi Krsna paksa bulan Magha (panglong ping 14 sasih Kapitu), yakni sehari sebelum Tilem sasih Kapitu.  Prawaning Tilem (sehari sebelum tilem) merupakan malam yang paling gelap. Posisi bulan, matahari dan bumi sangat berpengaruh terhadap kehidupan di bumi. Pada saat tilem (bulan mati) pengaruh gaya yang ditimbulkan bulan sangat kecil dan singkat sehingga sangat baik untuk melakukan semadi atau perenungan. Oleh karena itu, malam siwa ratri yang jatuh sehari sebelum tileming kepitu adalah malam yang paling gelap sehingga pengaruh bulan sangat kecil dan waktu terbaik untuk melakukan perenungan.

Sasih kepitu merupakan lambang sapta timira (tujuh sifat kemabukan) yang berujung kegelapan (dosa). Karena kuatnya keinginan duniawi maka manusia akan dipenuhi klesa (kekotoran), menuju ke papa (kegelapan jiwa dan pikiran) yang pada akhirya akan bermuara kepada dosa. Oleh karena itu, dengan Siwa Ratri (Namasmaranâm pada Siwa) ada kekuatan untuk melenyapkan segala kegelapan batin. Jika kegelapan itu mendapat sinar dari Hyang Siwa, maka lahirlah kesadaran budhi yang sangat dibutuhkan setiap saat dalam hidup ini.

Pelaksanaan Siwa Ratri untuk Sang Sadhaka sesuai dengan dharmaning kawikon. Sedangkan untuk Walaka, didahului dengan melaksanakan sucilaksana (mapaheningan) pada pagi hari panglong ping 14 sasih Kapitu. Upacara dimulai pada hari menjelang malam dengan urutan sebagai berikut:

1)Maprayascita sebagai pembersihan pikiran dan batin;

2)Ngaturang banten pajati di Sanggar Surya disertai persembahyangan ke hadapan Sang Hyang Surya, mohon kesaksian- Nya;

3)Sembahyang ke hadapan leluhur yang telah sidha dewata mohon bantuan dan tuntunannya;

4)Ngaturang banten pajati ke hadapan Sang Hyang Siwa. Banten ditempatkan pada Sanggar Tutuan atau Palinggih Padma atau dapat pula pada Piasan di Pamerajan atau Sanggah. Kalau semuanya tidak ada, dapat pula diletakkan pada suatu tempat di halaman terbuka yang dipandang wajar serta diikuti sembahyang yang ditujukan kepada:

a) Sang Hyang Siwa dan

b) Dewa Samodaya.

Setelah sembahyang dilanjutkan dengan nunas tirta pakuluh. Terakhir adalah masegeh di bawah di hadapan Sanggar Surya. Rangkaian upacara Siwa Ratri, ditutup dengan melaksanakan dana punia.

5)Sementara proses itu berlangsung agar tetap mentaati upawasa dan jagra.

6)Persembahyangan dilakukan tiga kali, yaitu pada hari menjelang malam panglong ping 14 sasih Kapitu, pada tengah malam dan besoknya menjelang pagi.

4.Tri Brata Siwa Ratri Sebagai Refleksi Diri

Siwa Ratri adalah hari suci untuk melaksanakan pemujaan ke hadapan Hyang Widhi Wasa dalam perwujudannya sebagai Sang Hyang Siwa. Hari Siwa Ratri adalah di mana Sang Hyang Siwa beryoga. Sehingga umat Hindu perlu melaksanakan penyucian diri dalam usaha menimbulkan kesadaran diri (atutur ikang atma ri jatinya).

Berkaitan dengan hal itu, pelaksanaan Siwa Ratri patut diwujudkan dengan melaksanakan Tri Brata Siwa Ratri yang pada hakikatnya menguatkan unsur budhi. Jika budhi selalu mendapat sinar suci, maka akan menguatkan pikiran atau manah sehingga dapat mengendalikan indria atau Tri Guna. Tri Brata Siwa Ratri, yakni monabrata, upawasa, dan jagra. Pelaksanaan Siwa Ratri tingkat utama, yakni Monabrata (berdiam diri dan tidak berbicara), Upawasa (tidak makan dan tidak minum), dan Jagra (berjaga, tidak tidur). Tingkat Madya, yakni Upawasa dan Jagra. Sedangkan tingkatan Nista, yakni Jagra. Monabrata berlangsung dari pagi hari pada panglong ping 14 sasih Kapitu sampai malam (12 jam), Upawasa berlangsung sampai dengan besok paginya (24 jam), sedangkan Jagra berakhir besok harinya jam 18.00 (36 jam).

Mona Brata artinya berdiam diri tidak bicara (membatasi bicara), tujuannya adalah mengendalikan perkataan agar tidak muncul ucapan yang tidak patut. Sangat dianjurkan pada saat Siwa Ratri, membaca lontar/kitab suci, seperti Bhagawad Gita, Ramayana, dan Sarasmuscaya. Dalam Niti Sastra V. 3, disebutkan bahwa “Wacika nimittanta manemu laksmi, Wacika nimittanta manemu duhka, Wacika nimittanta pati kapangguh, Wacika nimittanta manemu lmitra” Artinya, karena perkataan memperoleh bahagia, karena perkataan menemui kesusahan, karena perkataan menemukan kematian, dan karena perkataan memperoleh sahabat. Oleh karena itu, perkataan perlu dikendalikan demi kebahagiaan dan kedamaian.

Upuwasa artinya tidak makan dan tidak minum, yang bertujuan untuk mengendalikan diri dari keterikatan duniawi (warigya).  Mengendalikan kuantitas dan kualitas makan dan makanan diyakini berpengaruh terhadap Tri Guna (sattwam, rajas, dan tamas).

Jagra artinya Sadar, yang diwujudkan dengan tidak tidur semalam suntuk. Dalam hal ini panca indera dibuka sepenuhnya dan diisi dengan ajaran Suci. Dengan demikian, jagra bermakna selalu tetap mawas diri untuk mencapai kesadaran diri. Karena, kesadaran akan lenyap bila tertidur (turu) yang disebut dengan papa.

Dengan demikian, Siwa Ratri adalah media introspeksi diri untuk senantiasa mawas diri. Siwa Ratri merupakan perenungan diri sehingga dapat meminimalkan perbuatan dosa. Oleh karena itu, sangat baik pada malam Siwa Ratri dilakukan Dharma Tula (berdiskusi) dan membaca buku-buku suci, serta sangat mulia jika melantunkan “Om Namah Siwaya”.

5.Makna Aktual Siwa Ratri Dan Penafsiran Cerita Lubdaka

Di Bali, Siwa Ratri selalu dikaitkan dengan cerita Lubdaka karya Mpu Tanakung, yang sinopsis ceritanya, sebagai berikut: “Lubdaka adalah seorang pemburu. Pada suatu hari, ia tidak dapat binatang buruan, kemudian kemalaman dan naik ke pohon bila. Karena takut terjatuh, ia memetik daun bila dan dijatuhkannya ke dalam kolam. Maksudnya supaya dia tudak mengantuk dan tertidur. Ternyata di tengah kolam itu terdapat lingga (stana Hyang Siwa). Lubdaka akhirnya mendapatkan anugerah” Penafsiran dari cerita Lubdaka, yakni:

a)Purwanining Tilem Kepitu (panglong ping 14 Sasih Kepitu), menurut perhitungan wariga adalah malam yang paling gelap dalam setahun perhitungan sasih, puncak gelapnya alam. Kepitu berarti bulan ketujuh yang bermakna peteng pitu pada buana agung, dan sapta timira pada manusia (buana alit). Sapta timira artinya tujuh kemabukan (kegelapan), yakni Surupa (mabuk kerupawanan), Dana (mabuk kekayaan), Guna (mabuk kepintaran), Kulina (mabuk karena kebangsawanan), Yowana (mabuk karena keremajaan), Sura (mabuk karena minuman keras), dan Kasuran (mabuk kemenangan).

b)Jagra berarti tidak tidur, terjaga, awas, waspada, eling, dan sadar. Dalam situasi apapun jagra sangat diperlukan demi keselamatan dan keamanan. Terjadinya ketidaksadaran jiwa karena adanya belenggu panca indrya. Ketidaksadaran akan memperkuat musuh-musuh yang ada dalam diri manusia (Sad Ripu). Niti Sastra menyebutkan, “tan hana satru menglewihaning ana geleng ri ati”, artinya tidak ada musuh melebihi musuh di dalam hati. Dalam kekawin Ramayana disebutkan, “Ragadi musuh mapara ri hati, ya tonggoania tan madoh ring awak”, artinyaragadi (nafsu) adalah musuh utama di hati tempatnya tidak jauh dari badan. Adapun keenam macam Sad Ripu, yakni Kama (nafsu), Lobha (rakus), Krodha (marah), Moha (kebingungan), Mada (kemabukan), dan Matsarya (iri hati).

c)Upawasa artinya tidak makan dan minum (mengendalikan makan dan minum). Adalah upaya mengendalikan nafsu makan dan minum. Artinya, upaya untuk mengendalikan musuh-musuh yang ada di dalam diri (Sad Ripu). Karena susungguhnya, musuh inilah yang memunculkan tindakan kejahatan dan perbuatan dosa.

d)Mona brata artinya tidak bicara (mengendalikan pembicaraan). Berbicara berdasarkan atas kesadaran dharma atau kebenaran. Dalam Bhagawad Gita Bg. XVII: 15, menyebutkan bahwa “Berbicara tanpa menyinggung, melukai hati, dapat dipercaya, lemah lembut, berguna dan berdasarkan kitab suci (kebenaran), itulah yang disebut dengan bertapa dengan ucapan

e)Dana Punya artinya pemberian tulus dan ikhlas sebagai bentuk pengamalan dharma. Ajaran dana punya, meliputi dharmadana (pemberian dalam bentuk wejangan/nasihat), widyadana (pemberian pengetahuan (pendidikan), dan arthadana (pemberian berupa artha). Ajaran dana punya bertujuan untuk membimbing manusia menuju sifat welas asih dan kesempurnaan lahir bathin.

f)Senjata panah Lubdaka mengandung makna manah, budhi, pikiran, dan hati. Dalam hal ini manah untuk memburu binatang (satwa) yang bermakna sattwam. Jadi, dalam kehidupan terus memburu satwam (kemuliaan) untuk mencapai kebahagiaan.

g)Satwa yang diburu adalah Gajah, Badak, Babi Hutan. Gajah = asti (bahasa Sansekerta) artinya astiti bhakti. Badak (warak) artinya tujuan dan babi (waraha) artinya wara nugraha. Dengan demikian, perburuan dalam kehidupan untuk mendapatkan wara nugraha adalah dengan astiti bakti kepada Sanghyang Siwa.

h)Kolam (air telaga) bermakna cermin diri. Malam bermakna gelap (awidya, bodoh). Naik pohon (meningkatkan diri), daun bila (bilah/lontar, widya, ilmu pengetahuan), takut jatuh bermakna tidak ingi jatuh dalam kegelapan (dosa) berikutnya. Fajar menyingsing artinya mendapatkan pencerahan. Konsep tersebut sesuai dengan Bhagawad Gita Bg. IV: 36 yang menyebutkan bahwa “walau seandainya engkau manusia yang paling berdosa diantara manusia-manusia yang memikul dosa, dengan perahu ilmu pengetahuan ini lautan dosa akan dapat engkau seberangi”. Artinya, dengan melaksanakan Siwa Ratri ada upaya untuk mencapai kesadaran dan pencerahan demi kebahagiaan.

6.Simpulan

a)Siwa Ratri berarti malamnya Sanghyang Siwa. Siwa Ratri juga berarti perubahan terang menjadi gelap dan gelap menjadi terang kembali. Pada hakikatnya, Siwa Ratri adalah malam perenungan dosa (bukan peleburan dosa) yang bertujuan untuk mencapai kesadaran diri. Dengan demikian, Siwa Ratri adalah malam penuh kesucian (nirmala), sehingga sangat baik memuja Siwa agar keluar dari kegelapan.

b)Siwa Ratri adalah momentum refleksi diri untuk memelihara kesadaran agar terhindar dari perbuatan dosa dan papa dengan jalan jagra yang artinya sadar, eling atau melek, sehingga dapat menghindari perbuatan dosa. Siswa Ratri bermakna untuk menguatkan Budhi (kesadaran) agar dapat menguasai manah (pikiran), sehingga dapat mengendalikan indria atau Tri Guna. Oleh karena itu, Siwa Ratri (Siwa Latri) bermakna ”malam kesadaran” atau ”malam pejagraan”, bukan ”malam penebusan dosa”

c)Pelaksanaan Siwa Ratri untuk Sang Sadhaka sesuai dengan dharmaning kawikon. Sedangkan untuk Walaka dilaksanakan dengan urutan sebagai berikut: 1) Maprayascita sebagai pembersihan pikiran dan batin, 2) Ngaturang banten pajati di Sanggar Surya disertai persembahyangan ke hadapan Sang Hyang Surya, 3) Sembahyang ke hadapan leluhur yang telah sidha dewata, 4) Ngaturang banten pajati ke hadapan Sang Hyang Siwa pada Sanggar Tutuan atau Palinggih Padma atau Piasan atau Sanggah, 5) Sembahyang ditujukan kepada Sang Hyang Siwa dan Dewa Samodaya, 6) Masegeh di bawah di hadapan Sanggar Surya, 7) Tetap mentaati upawasa dan jagra, dan 8) Persembahyangan dilakukan tiga kali, yaitu pada hari menjelang malam panglong ping 14 sasih Kapitu, pada tengah malam dan besoknya menjelang pagi.

d)Tri Brata Siwa Ratri, yakni upawasa, monabrata dan jagra. Pelaksanaan Siwa Ratri tingkat utama, yakni Monabrata (berdiam diri dan tidak berbicara), Upawasa (tidak makan dan tidak minum), dan Jagra (berjaga, tidak tidur). Tingkat Madya, yakni Upawasa dan Jagra. Sedangkan tingkatan Nista, yakni Jagra. Monabrata berlangsung dari pagi hari pada panglong ping 14 sasih Kapitu sampai malam (12 jam), Upawasa berlangsung sampai dengan besok paginya (24 jam), sedangkan Jagra berakhir besok harinya jam 18.00 (36 jam)

e)Mona Brata bertujuan untuk melatih diri dalam hal berbicara. Sebaiknya pada saat Siwa Ratri, dilakukan pembacaan lontar-lontar yang memuat ajaran kesucian, seperti Bhagawad Gita, Ramayana, dan Sarasmuscaya. Upawasa bertujuan untuk melatih pengendalian diri dengan menghilangkan keterikatan-keterikatan (warigya) sehingga dapat melakukan konsentrasi (Semadi) dalam rangka pendekatan diri kepada Dewa Siwa. Sedangkan Jagra bertujuan agar panca indra tetap terbuka sehingga dapat diisi dengan ajaran Suci sebagai pencerahan diri. Oleh karena itu, sangat perlu dilakukan Dharma Tula (berdiskusi), membaca buku-buku suci, dan melantumkan Om Namah Siwaya sepanjang malam untuk memperkuat diri sendiri.

f)Siwa Ratri adalah saat terbaik untuk merenungkan perbuatan-perbuatan yang telah dilakukan pada massa lalu, apa yang sedang dilakukaan saat ini, lalu apa yang akan dilakukan di masa datang. Perenungan (refleksi) ini hendaknya dilakukan sebagai upaya perbaikan atau penyempurnaan kekurangan/keburukan masa lalu menuju arah kemuliaan di masa kini. Pendek kata, melalui pelaksanaan Siwa Ratri akan disusun rencana untuk masa depan demi kebaikan, kemuliaan, dan kebahagiaan. (gpa)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline