Indonesia dikenal sebagai negara yang sangat menggilai sepakbola. Baik memainkan, menonton langsung distadion, menonton di televisi ataupun sekedar melihat arak-arakan suporter lewat menuju stadionpun jadi sesuatu yang digemari dinegeri ini. Dibeberapa kota besar malah sepakbola seolah menjadi nyawa bagi masyarakatnya. Mau bukti? Coba tanyakan betapa berartinya PERSIB bagi Bobotoh, atau betapa berharganya SEMEN PADANG bagi Spartacks dan The Kmers sampai-sampai pendukungnya rela melakukan apapun. Dan terakhir saudara kita dari Surabaya, Bonek yang memperjuangkan klub kebanggaannya PERSEBAYA. Semua dilakukan demi satu hal "Sepakbola" [caption id="attachment_241285" align="aligncenter" width="485" caption="Tribun Utara SIliwangi tahun lalu saat PERSIB vs Mitra kukar (dok pribadi)"][/caption] Berbagai hal pernah kita saksikan langsung baik di layar kaca maupun melihat langsung bagaimana fanatisme kelompok-kelompok suporter di tanah air. Mulai dari sisi positif saling beradu kreatifitas dalam mendukung tim dan juga tak ketinggalan "bumbu" berupahal negatif yang sebenarnya membuat sepakbola semakin indah yaitu perseteruan yang seakan tak ada ujungnya yang kadang mirisnya menyebabkan nyawa melayang. Sangat disayangkan memang. Sebagian besar berprinsip akan melakukan apapun demi klub yang dibelanya. Itulah fanatisme dinegara kita. Tapi anehnya hal ini menular ke kelompok suporter tim luar negeri. Ya ada bebarapa kejadian yang kita lihat dan dengar adanya bentrok antara suporter klub yang hanya kita saksikan dilayar kaca. Ya suporter layar kaca yang timnya jauh diEropa sana terlibat perseteruan dengan suporter tim lain yang anehnya tak pernah mereka dukung langssung di stadionnya disana. Letupan emosi yang ada seperti sedang berada di stadion, padahal hanya menonton via Nonbar. Lucu juga melihat berita di surat kabar "Fans Barcelona dan Real Madrid bentrok di Yogyakarta". Atau "Terjadi tawuran tifosi Juventus dan Inter Milan di Jakarta". Bahkan ada juga yang tawuran sudah seperti saat suporter mendukung tim dari daerahnya sendiri atau mendukung timnya di Liga Indonesia. Konflik yang seakan-akan menyamai konflik di Eropa sana antara Hooligan dan pendukung lainnya. Dan yang serunya media sosial juga jadi tempat yang mengasikkan bagi mereka untuk menghakimi. Padahal seharusnya ajang NonBar cukup diisi dengan adu narsis-narsisan saja, agar pertandingan yang nun jauh di belahan dunia sana tidak kehilangan maknanya. Kan gak lucu kalau Derby D"Italia di Milan malah bentrokan antara Interisti dan Juventini terjadi di Cafe di Jakarta. Saling ejek atau saling menyindir mungkin masih bisa ditolerir,m tapi kalau dilanjutkan dengan saling mengadu otot dan berkelahi kan sangat konyol sekali. Menyindir musuh memang sesuatu yang wajar dilakukan sebagai rasa euforia terhadap kemenangan timnya, tapi tak harus dengan diikuti hal lain yang berujung pada perrkelahian. Di sepakbola, memaki-maki musuh bebuyutan memang harus diakui lebih nikmat jika disuarakan bersama kelompok lain yang juga anti kepada kubu seberang. Misalnya pendukung PERSIB dan PERSEBAYA akan dengan senang memaki-maki pendukung Persija, ya walaupun sebenarnya saya kurang setuju dengan ini. Cukup dukung dan beri semangat timmu saar bertanding dengan chant atau nyanyian penyemangat dan jangan dengan nyanyian yang memamki kelompok suporter lain yang gak ada hubungannya dengan pertandingan, begitu prinsip saya menonton sepakbola. Atau dalam kaitannya dengan suporter di Eropa, Juventini pasti akan mengajak Milanisti untuk membentuk aliansi untuk memaki-maki atau menyerang dengan kata-kata dan bahkan dengan serangan fisik pada Interisti yang merupakan musuh bersama. Ini yang malah sampai dibawa-bawa keacara Nonbar, tak aneh bila akhirnya ada bentrok "memalukan" tersebut. Walaupun kita tak bisa juga menghakimi mereka sang suporter layar kaca tersebut. Karena banyak juga hal positif yang mereka lakukan, baik aktifitas sosial maupun aktifitas lain yang membantu sesama. Ya tapi tetap saja, ada yang mengganjal. Emosi yang tergadaikan karena tontonan TV yang aktor-aktornya bukan dari negeri sendiri atau tidak dilihat langsung. Mungkin akibat darah muda juga, tapi dengan banyaknya sekarang kelopok suporter layar kaca tumbuh di tanah air ini bsa jadi sinyal bahaya. Bisa aja bentrok lebih besar dan parah akan timbul. Seperti halnya kenikmatan yang kita dapatkan ketika mendukung tim idola kita di Stadion diliga Indonesia, mendukung tim idola luar negeri juga punya kenikmatan tersendiri, namun tetapdalam koridor tertentu yang jangan sampai diloncati demi dalih kebersamaan yang semu. Kata 'persaudaraan' atau 'Satu Hati' yang diagung-agungkan suporter tanah air memang selalu indah terdengar, tapi susah setengah mati kala dipraktekkan kala klub-klub idola bertanding. Suporter tanah air memang kreatif, militan dalam mendukung tim idolanya di Liga Indonesia. Juga ketika mendukung timnas Indonesia sekalipun patut mendapat pujian. Auranya sungguh luar biasa, Bahkan ketika tim Eropa berkunjung ke Indonesia (Jakarta dan Surabaya) beberapa waktu lalu, mereka sangat terpukau dengan suasana luar biasa yang diciptakan fans tanah air baik yang mengatas namakan klub Eropa maupun klub dari negeri sendiri semisal PERSEBAYA. Ruang yang tersedia untuk adu kreatifitas adu skill dalam mendukung tim dengan kebanggaan sebanarnya tersedia lebih luas dari ruang untuk adu otot demi membela tim yang entah merasa bermain untuk mereka entah hanya untuk pendukungnya yang datang ke stadion di Eropa sana. Terakhir, semoga fanatisme pada klub-klub asing tidak sampai menggerogoti rasionalitas apalagi mengalahkan fanatisme pada klub lokal sendiri. Biasa aja dalam mendukung tim asingnya. :D #SupportYourLocalTeam #SalamRinduJuara
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H