Lihat ke Halaman Asli

putra_wpp

Ketua GMNI Palu

Tat Twam Asi: Falsafah Persatuan dan Pri Kemanusiaan Bung Karno

Diperbarui: 4 Agustus 2024   06:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sekretariat DPC GMNI Palu

Oleh : Subchan Adi M. Pengurus DPC GMNI Palu

Bertemu dan bisa berdiskusi dengan Dr. I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi, S.T, S.H, M.Si, benar-benar merupakan kehormatan besar buatku. Beliau adalah salah satu dari tujuh anggota Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum Republik Indonesia (DKPP RI), sekaligus menjadi tokoh senior di organisasi yang ku cintai,
"Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI)".

Kebetulan, saat itu ia berkunjung di kota Palu untuk memberikan materi kepada
Penyelenggara Pemilihan di tingkat Provinsi. Akh... entah tentang apa itu bukanlah hal yang kita bicarakan disini. Tetapi yang cukup untuk menjadi kebanggaan kami sebagai anggota dan kader DPC GMNI Palu, adalah beliau bersama senior-senior di provinsi bersedia mengunjungi kami di kesekertariatan DPC GMNI Palu.

Diskusi bersama Pengurus DPC GMNI Palu

Secerek kopi, beberapa piring gorengan, dan beberapa bungkus rokok adalah sajian yang amat sederhana yang bisa kami suguhkan. Tetapi sudahlah cukup untuk menjadi pelengkap diskusi hebat di malam itu. Dalam pertemuan yang hangat, beliau memberikan banyak petuah kepada kami. Tetapi kesempatan muncul ketika ia sejenak membakar sebatang rokok dan menyeruput segelas kopi, yah ini saatnya saya menyela dengan pertanyaan baru “mohon maaf bung izin bertanya, kebetulan bung beragama Hindu dan kalau tidak salah bung karno semasa kecilnya pernah diajarkan Tat Twam Asi oleh ayahnya, dan ini menjadi nilai yang saat itu ia sering sampaikan, salah satunya ketika ia berpidato dalam memperingati hari ibu dan hari sosial ‘Tanamkan Tat Twam Asi di dalam Dadamu’ dalam konteks saat ini bagaimana ajaran kebijaksanaan itu dipahami dan diimplementasikan khususnya bagi kami di GMNI ?”

Akh...sudahlah menjadi tabiatku sebagai seorang yang pelupa, sedikit penyesalan ketika aku tidak mencoba merekamnya. Tetapi yang ku ingat, ia dengan sebatang rokok dikedua jarinya dan dengan senyum tipisnya menghiburku dengan mengatakan bahwa ini adalah pertanyaan yang berat. Kemudian ia menjawab dengan sangat lengkap dalam aspek teologis dan filosofis. “Tat Twam Asi mengajarkan bahwa keber“ada”an kita bergantung kepada ke“ada”an yang lainnya dan begitupula sebaiknya” yah, kurang lebih begitulah poin yang sekarang kuingat dan kupahami.

Amat sedikit yang bisa kukutip darinya, akh...maafkan aku sebagai seorang yang pelupa. Tetapi peristiwa ini sudahlah menjadi pemantik atas kobaran semangat untuk mengeksplorasi pemikiran Bung Karno terkait nilai kebijaksanaan Hindu pada ajaran “Tat Twam Asi”. Sekilas yang kulihat terdapat unsur materialis dimana Ada sebagai suatu eksistensi—Becoming—saling berpengaruh oleh eksistensi ke “ada”an yang lainnya. Tetapi unsur spritualitas juga menjadi konstruksi ajaran tersebut dimana juga terdapat nilai kesatuan antara Brahman (Tuhan) dan Atman (Jiwa).

Selain itu, Yang kutemukan dalam beberapa literatur, menunjukkan bahwa bung karno menyebut ajaran tersebut sebagai jiwanya Sosialisme, ajaran itu pula yang menjadi dasar dari nilai Pri-Kemanusiaan, dan pernah menjadi semboyan dari Departemen Sosial atau yang saat ini kita kenal dengan Kementerian Sosial. Pandangan ini menurut saya juga tidak jauh berbeda dengan konsep Bhineka Tunggal Ika atau dalam aspek teologisnya—dalam Islam—kita kenal pada konsep Wahdatul Wujud Ibn. Arabi.

Tat Twam Asi, yang dikenalkan kepada Soekarno sejak kecil, mengajarkan bahwa setiap individu harus melihat dirinya dalam diri orang lain. Ketika Soekarno menjatuhkan sarang burung secara tidak sengaja, ayahnya tak segan memarahinya dengan keras dan mengingatkan kembali ajaran Tat Twam Asi, bahwa Tuhan berada dalam diri semua makhluk. Hal ini menanamkan nilai bahwa semua makhluk hidup memiliki jiwa yang sama dan pantas mendapatkan perlakuan yang adil dan
setara.

Ajaran Tat Twam Asi dalam konteks sosial merupakan dasar utama bagi pengamalnya untuk dapat mewujudkan masyarakat yang damai (santih), sebagaimana dalam kitab Bhagavad Gita V.18: “Widya winaya sampanne. Brahmanegawi hastini. Suni caiwa swa pake ca. Panditah sama darsinah” (Orang bijak melihat dengan pandangan yang sama, baik seorang Brahman terpelajar dan rendah hati. Seekor sapi, seekor gajah atau seekor anjing. Seorang yang berkelahiran hina.)

Dengan demikian, Tat Twam Asi mengajarkan, walaupun manusia hidup dalam perbedaan, hal tersebut tidak merubah hakikat atma (Jiwa) yang ada dalam tubuh setiap manusia. Dengan memandang atma yang sama berada didalam setiap makhluk serta menerima kenyataan bahwa atma memiliki sumber yang sama, manusia dapat hidup harmonis dengan saling menghormati, menjaga dan menyayangi sesama.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline