Lihat ke Halaman Asli

Refleksi di Bulan Kemerdekaan: Pemikiran Berpendidikan vs Pemikiran Mata Duitan

Diperbarui: 24 Agustus 2016   22:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Masih dalam nuansa bulan kemerdekaan. Yaa..71 tahun sudah negara Indonesia kita tercinta menikmati manisnya nikmat kemerdekaan. Tentu hal ini seharusnya tak menjadi sekedar ritual peringatan tahunan begitu saja, akan tetapi lebih jauh dari itu, usia 71 tahun kemerdekaan ini harus kita sikapi bersama dengan melakukan segenap kajian dan evaluasi terhadap kemerdekaan dalam arti sesungguhnya yang lebih luas. 

Sebagai bagian dari bangsa yang besar ini, tentulah kita harusnya satu pendapat bahwa dipundak kita terpikul sebuah janji kemerdekaan yang harus kita lunasi bersama. Sebuah janji, buah dari hasil perjuangan para pendiri bangsa yang telah mendahului kita. Sirna tanpa bekas rasanya manakala ucapan merdeka hanya sekedar ucapan bergema tanpa makna. 

Hilang tak bertuan rasanya apabila ucapan “Merdeka” hanya menjadi sebuah teriakan tak berarti apa-apa. Bangsa yang besar adalah bangsa yang dapat menghargai jasa para pahlawan. Menghargai jasa para pahlawan dalam arti semangat kemerdekaan kini harusnya disikapi dengan langkah kongkrit untuk melanjutkan janji kemerdekaan.

Sejarah telah menggores di lembaran perjuangan bangsa kita, bahwa kemerdekaan 17 Agustus 1945 dibangun di atas sekian darah perjuangan. Kemerdekaan Republik Indonesia bukanlah hasil pemberian bangsa penjajah. Kemerdekaan negeri ini kita peroleh di atas tumpah darah para pejuang. Kita akan malu dan dicap tak tahu malu dalam sejarah manakala setelah 71 tahun kemerdekaan ini pemikiran kita ternyata belum merdeka. 

Sungguh ironi, jika di usia 71 tahun kemerdekaan negeri tercinta antar bangsa Indonesia saling menjatuhkan dengan hanya dilatar belakangi materi. Munculnya koruptor serta kroni-kroninya hingga saat ini jika dicermati bersama sesungguhnya adalah sebuah “kecelakaan” yang tak sepatutnya terjadi. Lebih bahaya lagi manakala sebuah “pendidikan” dipersalahkan atas  kejadian di negeri ini.

Founding father kita lebih jauh sudah mempunyai pemikiran ke depan, bahkan sejak terbentuknya negeri ini. BPUPKI yang dilanjutkan PPKI sebagai sebuah badan persiapan kemerdekaan telah merancang konstitusi sebegitu hebatnya melalui UUD 1945. Sebuah hak dasar dan kewajiban warga negara dengan jelas ditinta hitamkan dalam batang tubuh UUD 1945, di antaranya adalah pendidikan. Pasal 31 ayat (1) UUD 1945 menyatakan “Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan.

Demikian cuplikan salah satu pasal dalam konstitusi negara kita. Jika kita perhatikan secara seksama, kenapa pendidikan dimasukkan sebagai salah satu hak dasar adalah bukannya tanpa alasan. Mengapa tidak berbunyi  sajasetiap warga negara berhak mendapatkan uangatau juga tidak berbunyi  saja “setiap warga negara berhak duduk di kursi empuk ber AC” .

Ah..wahai Bung. Kita jangan menjadi orang yang bodoh, juga jangan jadi orang yang bermental dijajah. Percuma kita merdeka, sedangkan alam kita adalah adalah manusia bermental dan berpemikiran dijajah. Setidaknya kita harus merubah arah pemikiran kita sebagai orang yang merdeka dalam arti sebenarnya. Setidaknya ada empat hal tujuan yang digariskan dalam mukaddimah konstitusi negara tercinta kita ini, diantaranya adalah upaya mencerdaskan kehidupan bangsa.

Ada sebuah cerita yang patut kita cermati bersama. Menceritakan sebuah pemikiran dari dua orang yang berbeda jauh, kendati keduanya sama-sama berada dalam alam kemerdekaan bangsanya sendiri. Singkat cerita ada seorang, katakanlah bernama si Mata Duitan dan si Mata Berpendidikan. Yaa, dari namanya sekilas akan terlihat jelas perbedaan dari kedua orang ini. Tanpa diketahui sebab yang jelas melatarbelakangi si Mata Duitan ini mempersalahkan mereka-mereka yang mengecap pendidikan tinggi tapi ujung-ujungnya nganggur atau tidak mau bekerja sembarangan alias pilih-pilih. 

Si Mata Duitan ini seolah menjadi satu-satunya orang yang menikmati empuknya kursi kerja kendati secara pendidikan si Mata Duitan pas-pas an alias tidak tinggi-tinggi amat. Di lain pihak si Mata Berpendidikan berpendapat bahwa, menjudge bahwa berpendidikan tinggi menjadi sebuah kesalahan adalah sebuah pemikiran sempit. 

Kalaulah ingin memberikan sebuah contoh, alangkah baiknya berilah sebuah contoh yang tidak tanggung-tanggung, semisal berpendidikan tinggi tapi juga mapan dalam pekerjaannya, dan sosok orang seperti itulah yang harusnya dikasihkan sebagai contoh, bukan mencontoh orang yang berpemikiran tak perlu repot-repot mengejar pendidikan tinggi, yang penting dan yang bagus itu adalah berpendidikan pas-pas an saja tapi bisa bisa duduk dikursi empuk ber AC dalam lingkungan kerja.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline