Lagi-lagi kau sebut nama mereka, wanita-wanita yang dekat denganmu, wanita-wanita yang begitu mengagumi & tergila-gila padamu beberapa bulan belakangan ini. Bisakah kau diam barang sehari saja, tanpa menceritakan mereka di hadapanku?
Aku ini kekasihmu, wajar saja bila cemburu mendengarmu dekat dengan yang lain. Kemarin kau baru saja menceritakan Nycta yang tempo hari pitanya berganti-ganti warna. Lalu Lydia yang kau ajak makan malam bersama di sebuah restoran mewah di pinggir pantai. Kemudian ada Anjani yang kau belikan kalung dengan ukiran nama di liontinnya.
Kau bilang aku tak perlu cemburu pada mereka. Apa kau gila? Kau anggap aku ini siapa? Kau bahkan telah melamarku dua minggu yang lalu. Tapi hal itu juga tak mengubah kebiasaanmu untuk tetap dekat dengan mereka.
"Kau benar yakin akan menikahiku?" tanyaku penasaran.
Kau menjawab iya sambil tersenyum, memperlihatkan lesung pipi di bagian kanan dan kiri.
"Lantas bagaimana dengan Nycta? Lydia? Anjani? Dan wanita-wanitamu yang lain?"
"Terima kasih telah berusaha sabar untukku. Tapi aku akan tetap mencintai mereka."
"Kau sudah gila?"
Kau menggeleng, lalu menggenggam tanganku. "Sini kuberitahu, rahasia yang selama ini tak pernah kau tahu."
Dadaku sesak, pikiranku dipenuhi dengan rasa penasaran. Kali ini emosiku benar-benar memuncak.
Aku melewati beberapa lorong di rumahnya, dan sebuah ruangan dengan kamar-kamar mungil penuh warna membuat mataku takjub dan mulutku menganga.