Setiap harinya, ia bangun sebelum ayam berlomba untuk berkokok.
Bergegas mandi kemudian bersiap menuju pasar.
Di pasar yang jaraknya sekitar satu kilometer dari rumah, ia berbelanja banyak kata yang nantinya ia rangkai menjadi sebuah kalimat, kemudian baris, dan menjadi bait-bait yang indah.
Ia menamakan benda tersebut dengan puisi.
Bila hujan turun begitu deras, tak sedikitpun ia berniat untuk menghentikan langkah kakinya.
Ia tetap berjalan, mencoba berdamai dengan hujan dan angin yang berusaha mengganggunya.
Terkadang ia tak malu bila harus memungut kata-kata yang berserak di tanah becek, baginya tak masalah, asalkan halal, karena ia tak mau bila anak istrinya memakan uang hasil keringatnya yang tak halal.
Tetangga-tetangganya banyak yang memesan puisi-puisi yang baru beberapa minggu menetas.
Puisi-puisi yang ia rawat dengan sepenuh hati.
Puisi-puisi yang melahirkan larik-larik indah, penenang hati sebelum ia menjemput mimpi, penenang hati sebelum ajalnya datang menghampiri.
*setelah lama tak menulis
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H