Matahari tepat berada di atas kepala ketika keadaan kian mencekam. Banyak tangan-tangan yang sibuk dengan pekerjaan barunya, mulai dari melempar botol, melempar kayu, membakar apa saja yang mereka lihat, menjarah toko-toko, menodongkan pisau bahkan tak segan-segan menghunuskannya pada tubuh-tubuh tak bersalah. Di antaranya mungkin ada perut kosong yang belum makan sejak dua hari yang lalu. Panas, hawa semakin panas ketika api dengan cepat menyebar kemana-mana. Tak ada yang tahu persis bagaimana awal kejadian dari semua ini. Semua begitu cepat terjadi.
Aku telah berlari sejauh tiga ratus meter ketika mendapati sebuah rumah kosong yang menurutku aman untuk dijadikan sebagai tempat persembunyian sementara, entah sampai kapan. Aku berharap kejadian ini segera berakhir, atau paling tidak aku bisa bernapas sebentar sebelum aku pergi lagi ke tempat yang lebih aman. Oh, aku rindu pulang! Saat-saat seperti ini memang hanya rumah yang aku rindukan.
Aku tengah mengendap-endapkan tubuhku ketika suara teriakan beberapa orang dengan perawakan besar datang memecah keheningan. Tubuh-tubuh besar dengan benda tajam di masing-masing tangan mereka. Celurit, pisau, parang. Aku bisa mati kapan pun. Ah, sial, aku terjebak!
Aku mempercepat langkahku. Lari! Hanya itu yang bisa aku lakukan saat ini. Mereka tak tinggal diam, mengejarku hingga dapat, menangkapku bagai hewan buruan yang siap disantap kapan saja.
"Tangkap dia, jangan sampai lolos!" ujar salah seorang bertubuh sintal. Kelihatannya ia punya posisi penting dalam kelompok tersebut.Tubuhnya yang memiliki berat berlebih membuatnya tak bisa lari cepat seperti kawan-kawannya yang lain, tinggal perintah, semua akan menurut.
Dor! Sebuah suara tembakan terdengar menuju arahku, aku terus berlari, sekuat tenaga, hingga satu pun dari mereka tak terlihat lagi.
Aku bebas? Aku menghentikan langkahku, mengatur napas, melihat sekeliling tubuhku. Dan semua baik-baik saja. Aku masih hidup!
**
Aku membuka mataku yang tertutup rapat, pelan sekali. Kepalaku pusing namun badanku terasa ringan. Aku melihat sekelilingku, tampak beberapa orang berkerumun menyaksikkan sesuatu.
"Nggak pengen liat juga?" tanya seorang laki-laki – selanjutnya aku menyebutnya lelaki botol – berwajah pucat dengan cucuran darah di kepala dan sebuah botol yang menancap di perutnya.
Aku menggeleng, dan memastikan apa yang aku lihat barusan adalah benar, bukan mimpi apalagi sebuah khayalan semata.